Maret 29, 2011

RENE DESCARTES: From Meditations on First Philosophy

Oleh Raimondus Arwalembun


Riwayat Hidup Singkat

Reně Descartes lahir pada tanggal 31 Maret 1596. Filsuf yang mengawali pendidikannya di sekolah yang dikelolah oleh Ordo Yesuit di la Flěche ini kemudian menetap di Belanda selama 20 tahun. Selama di Belanda, Ia banyak melakukan kegiatan menulis karya ilmiah, filsafat dan ilmu pasti. Salah satu karyanya (Meditations) yang menandai awal filsafat modern juga ditulis di negeri ini. Meditations on First Philosophy-nya adalah sebuah diary tentang keputusasaan dari kesangsian (ragu-ragu) menuju sebuah kepastian.

Descartes memulai meditasi-meditasinya dengan mencoba menyangsikan segala sesuatu yang dipercayainya supaya menemukan kepastian. Kepastian akhirnya ditemukan di dalam kesadaran (consiousness), tepatnya pikiran manusia (individu). Efeknya adalah bahwa subjetivitas kini menjadi pusat dalam filsafat. Descartes akhirnya meninggal pada tanggal 11 Februari 1650 di Stockholm.

Pengantar


Adanya keinginan yang kuat (dalam diri Descartes) untuk memperbaharui filsafat dan menemukan sistem filsafat yang berbeda dengan filsafat tradisional (yang mengklaim bahwa rasio manusia mampu untuk mengetahui tetapi tidak sempurna apalagi untuk mengenal Allah)[1] nampak dalam pernyataannya ini, hal itu dimulai ketika aku pertama kalinya menyadari betapa banyaknya kepercayaan-kepercayaan keliru yang aku terima sebagai kebenaran dari masa kecilku, dan betapa meragukannya keseluruhan struktur pemikiran yang aku bangun di atas landasan yang salah itu; dan sejak saat itu aku yakin bahwa aku harus berusaha melepaskan diriku dari semua opini yang sudah aku terima dari dulu, dan mulai membangun landasan yang baru, jika aku ingin membangun suatu ilmu pengetahuan yang kokoh dan permanen.[2]

Descartes sadar bahwa untuk membangun suatu ilmu pengetahuan yang kokoh dan permanen diperlukan metode yang tepat karena dengan metode yang tepat, rasio manusia akan mampu mencapai suatu kebenaran yang pasti sebagai landasan bagi semua jenis ilmu pengetahuan. Namun metode apakah yang dimaksud Descartes? Apakah metode yang dimaksud Descartes dapat dikatakan sebagai akar dari modernisme? Semoga pemikiran Descartes dalam teks From Meditations on First Philosophy khususnya tentang meditation I dan meditation II yang dibahas dalam paper ini akan dapat menjawabnya.

Meditation I dan Metode Kesangsian

Meditasi pertama ini dimulai Descartes dengan menyadari bahwa semua nilai atau kepercayaan yang ia terima dari kecil dan dianggap sebagai kebenaran pantas diragukan. Kalau diragukan maka harus ada sesuatu yang tidak dapat diragukan, untuk itu Descartes berusaha untuk membangun suatu ilmu pengetahuan yang kokoh dan permanen di atas landasan yang baru. Menurut Descartes, senses (indera) itu memperdayai kita dan sangat bijaksana jika kita tidak percaya sama sekali pada apapun yang telah memperdayai kita, jadi langkah pertama yang harus dilakukan adalah skeptisisme terhadap indera manusia. Sebagai contoh: dapatkah saya meragukan bahwa saya ada disini, duduk dekat perapian, memakai gaun, mempunyai kertas ini di tangan saya, dan keadaan serupa lainnya? Karena kadangkala saya bermimpi bahwa saya berada di sini, memakai gaun dan duduk di dekat perapian tetapi kenyataannya saya disini, telanjang di tempat tidur.[3]

Tidak hanya itu, menurut Descartes, apa yang tergambar dalam tidur (mimpi) sama seperti lukisan di mana hanya dapat digambarkan oleh pelukis dari sesuatu yang nyata dan benar. Impliksi dari pernyataan ini adalah bahwa tangan , mata, kepala, dan keseluruhan tubuh ini bukanlah imajinasi tetapi semua itu nyata.[4] Dari contoh di atas, terlihat bahwa senses kadang menipu dan ambigu, karena itu dibutukan sebuah metode yang mampu menghantar kita untuk mengesampingkan segala pengetahuan yang kita peroleh lewat senses.

Dengan metode kesangsian, sesungguhnya Descartes ingin menunjukkan bahwa manusia yang terlahir ke dunia ini sesungguhnya merupakan orang-orang yang belum dewasa. Artinya, setiap orang dipengaruhi oleh orang yang ada sebelumnya atau orang sejamannya dalam memperoleh pengetahuan. Dengan demikian yang dimaksud dengan pendapat-pendapat kita hanyalah parasangka-prasangka dan karena itu pantas untuk diragukan. Bagi Descartes, metode kesangsian adalah jalan untuk mencapai kepastian, kejelasan dan kebenaran karena tak ada satu pengetahuan pun yang dapat lolos dari pemeriksaan metode ini. Lepas dari teori atau metode kesangsian Descartes, pertanyaan yang muncul adalah haruskah segala sesuatu disangsikan? Adakah sesuatu yang dapat lolos dari pemeriksaan metode kesangsian ini?

Meditation II dan Cogito ergo sum
 

Ketika Descartes berpikir bahwa segala sesuatu itu dapat keliru dan menyesatkan dan kemudian dengan metode kesangsiannya yang meragukan segala sesuatu, ia akhirnya menemukan bahwa ada sesuatu yang tak dapat disangsikan, ada sesuatu yang ternyata dapat lolos dari metodenya itu. Sesuatu itu adalah subyek yang meragukan dan karena itu subyek itu tak mungkin diragukan. Kalau demikian, siapakah subyek yang meragukan itu? Jawab Descartes “Aku.” Tetapi siapakah “Aku” itu? Jawabnya “Aku” adalah sesuatu yang berpikir, sesuatu yang berpikir berarti sesuatu yang meragukan, mengerti, memahami, menegaskan, menolak, berkehendak, membayangkan dan merasakan.[5]

Menurut Descartes, apa yang dipikirkan dapat saja suatu khayalan atau imajinasi tetapi saya yang berpikir ini bukanlah khayalan karena itu tak seorangpun dapat menipu saya, bahwa saya berpikir. Dengan demikian hanya rasio yang dapat membawa kita pada kebenaran. Akhirnya bagi Descartes, dasar bagi semua pengetahuan adalah cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada), inilah prinsip utama dari filsasat yang dibangun Descartes, inilah kebenaran yang akurat, pasti dan tak tergoyahkan. Cogito ergo sum, menunjukkan bahwa subyek yang sadar itu adalah pusat atau inti filsafat dan ilmu pengetahuan.

Penutup


Descartes pantas dikenang sebagai bapak filsafat modern atau dengan kata lain filsafat modern dimulai dengan Descartes. Berbicara tentang modernisme dan asal-usulnya maka mau tidak mau kita harus membicarakan Descartes. Berawal dari metode kesangsian yang mampu menguak kebenaran sejati dan kebenaran itu adalah subyek yang berpikir, “aku berpikir maka aku ada.” Implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa (1) pikiran lebih murni atau pasti dibandingkan materi, selain itu pikiran saya lebih pasti dibanding pikiran orang lain. Peran individu sangat ditekankan dan ini merupakan salah satu ciri dari modernisme. (2) Individu dengan rasio-nya mampu melakukan perubahan lewat sains dan teknologi.

Dengan kata lain manusia dengan kepercayaannya pada rasio mampu menjadi agen perubahan yang dapat melepaskan manusia dari kebodohan dan kepercayaan-kepercayan yang memperdayai kita. Akhirnya menurut penulis, apa yang ditawarkan Descartes bukanlah satu-satunya yang terbaik tetapi harus diakui bahwa filsuf ini telah menunjukkan kepada kita bahwa manusia dengan rasionya ternyata memiliki kemampuan untuk mengetahui dan menguasai alam semesta. Di sisi lain, kemampuan manusia untuk mengetahui dan menguasai alam semesta mengakibatkan sikap eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam semesta, alam semesta bernilai sejauh itu bermanfaat bagi manusia.


Catatan:

[1] Lesomar, Frans, Jurnal Media, Vol. 2, N0. 1: Pandangan Rene Descartes tentang Budi Manusia sebagai Sumber Pengetahuan dan Relevansinya bagi Mahasiswa Dewasa ini, hal. 87
[2] Cahoone, Lawrence (ed), 2nd Edition, From Modernism to Postmodernism: an anthology (Rene Descartes: From Meditations on First Philosophy), Blacwell Publishing ltd, 2003, hal. 19. (It is now some years since I detected how many were the false beliefs that I had my earliest youth admitted as true, and how doubtful was everything I had since constructed on his basic; and from that time I was convinced that I must once for all seriously undertake to rid myself of all the opinions which I had formerly accepted, and commence to build anew from the foundation, if I wanted to establish any firm and permanent structure in the sciences).
[3] Ibid, hal. 20 (There is the fact that I am here, seated by the fire, attired in a dressing gown, having this paper in my hands and other similar matters. How often has it happened to me that in the night I dream that I found myself in this particular place, that I was dressed and seated near the fire, whilst in reality I was lying undrerssed in bed).
[4] (At the same time we must at least confess that te things which are represented to us in sleep are like painted representations which can only have been formed as the counterparts of something real and true, and that in this way those general things at least, i.e. eyes, a head, hands, and a whole body, are not imaginary things, but things really existent)
[5] Ibid, hal. 23, (But what then am I? A thing which thinks. What is athing which thinks? It is a thing which doubts, understands, conceives, affirms, denies, wills refuses, which also imagines and feels). Lihat juga: Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat (terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 741

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Trima kasih. Uraiannya membantu buat tugas ha..trims/..

Unknown mengatakan...

Trima kasih. Uraiannya membantu buat tugas ha..trims/..

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim mengatakan...

bolavita Agen Judi Bola Casino Baccarat Poker Togel QiuQiu online terpercaya dan terbesar di Indonesia, untuk pembukaan account semua jenis judi online

Boss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )

Posting Komentar