Maret 29, 2011

SUARA DARI FLORES, NTT

(Buletin ASASI ELSAM Edisi Maret-April 2008)


Oleh Raimondus Arwalembun


“Orang Flores menyuarakan hak mereka, mereka menolak
rencana pembentukan KOREM di Flores (Ende) dan Lembata
serta ijin pertambangan di Lembata”

Rencana pembentukan KOREM (Komando Resort Militer) di Flores (Ende) dan Lembata serta ijin pertambangan di Lembata sangat kontroversial dan mengundang perhatian besar dari berbagai kalangan, khususnya kalangan masyarakat Flores. Bila kedua isu ini tidak disikapi secara kritis dan adil, maka potensi munculnya berbagai persoalan dan konflik dalam masyarakat Flores sangat besar. Rencana Pembentukan KOREM dipandang oleh sebagian besar masyarakat Flores sebagai rencana yang tidak tepat dan strategis, tidak tepat karena persoalan keamanan bukanlah persoalan yang sangat mendasar dan mendesak di Flores. Begitu juga dengan ijin pertambangan di Lembata, dikuatirkan kehadiran industri tambang (PT Merukh Lembata Coppers) akan merusak lingkungan yang telah memberikan kehidupan kepada masyarakat setempat.

Lepas dari munculnya berbagai penolakan yang datang dari masyarakat atas rencana pembentukan KOREM dan industri pertambangan di Flores, tentunya pemerintah (pusat dan daerah) memiliki alasan-alasannya sendiri mengapa kedua hal di atas harus diupayakan agar dapat diterima, inilah kepentingan pemerintah. Namun kepentingan ini mau tidak mau harus bentrok dengan kepentingan masyarakat (Flores) yang secara terang-terangan menolak kehadiran KOREM dan tambang di Flores.

Menurut hemat penulis, ada dua (2) kepentingan yang bermain disana, dibalik rencana pembangunan KOREM dan ijin pertambangan di Lembata. Kepentingan pertama, kepentingan pemerintah. Rencana pembangunan KOREM memuat kepentingan ini: “pertahanan dan keamanan negara, demi keamanan teritorial,” karena itu tidak ada alternatif lain, KOREM harus tetap dibangun pada awal tahun 2009 mendatang. Dari kasus pertambangan di Lembata, kepentingan pemerintah (daerah) adalah “ingin meningkatkan keuangan atau kas daerah,” karena itu rencana pertambangan harus di-goal-kan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat setempat.

Kepentingan kedua, kepentingan masyarakat Flores: “tidak ingin diintimidasi dan tidak ingin terusir serta hidup menderita di tanah kelahiran mereka sendiri.” Dari kasus rencana pembangunan KOREM, ada kekuatiran dari masyarakat bahwa kekerasan yang dilakukan militer (tentara) diberbagai tempat akan terjadi di tempat mereka juga. Dari pertambangan di Lembata, masyarakat tidak ingin tanah yang telah memberikan kehidupan kepada mereka dirusak dan diracuni, mereka tidak mau bumi mereka “diobok-obok.” Dengan kata lain, masyarakat Lembata tidak mau tanah (lingkungan) mereka menjadi rusak seperti daerah lainnya di Indonesia akibat kehadiran industri pertambangan di kampung mereka. Kehadiran Industri pertambangan selalu diikuti dengan kehancuran lingkungan bagi masyarakat setempat. Dua kepentingan ini tengah bertarung, siapakah yang akan menjadi pemenang? Rakyat seringkali dirugikan.

Selain pertarungan kepentingan di atas, ada pertanyaan lainnya yang dapat kita ajukan: apakah ada relasi antara pembentukan KOREM di Flores (khususnya di Lembata) dengan usaha pertambangan di Lembata? Secara langsung mungkin tidak ada, masing-masing memiliki kepentingannya sendiri. Tetapi kalau mau jujur, kita harus mengakui bahwa keterlibatan tentara sebagai “pengawal” industri pertambangan yang berimplikasi pada pelanggaran HAM bukanlah cerita omong kosong. Di Kalimantan Timur, PT KEM (Kelian Equato-rial Mining) bersama-sama dengan aparat keamanan melakukan pembakaran kampung-kampung penambang tradisional, perkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan desa. Di Papua Barat, diperkirakan 50 orang mati terbunuh ketika pemerintah Indonesia mengirimkan TNI AD untuk mengamankan infrastruktur milik PT FI (Freeport Indonesia), setelah terjadi pembongkaran base camp PT FI di Tsinga oleh suku Amungme. Di Aceh, pelanggaran berat HAM juga terjadi, demi keamanan, Exxon Mobil menyediakan berbagai fasilitas yang digunakan oleh tentara Indonesia. Exxon menyediakan 30 titik pos militer dengan alasan untuk menjaga proyek vital. (lihat: Arianto Sangaji, Ekonomi Politik Pertambangan Indonesia: Buruk Inco Rakyat Digusur, hal. 89-90). Dan masih banyak kasus lainnya.

Belajar dari pengalaman di atas, bukan tidak mungkin hal yang sama bisa saja terjadi di Flores. Kehadiran KOREM di Flores (khususnya di Lembata) bisa saja menguntungkan industri pertambangan dan berdampak buruk bagi rakyat. Ini bisa saja terjadi kalau pemerintah setempat ngotot untuk memberikan tanah Lembata bagi proyek pertambangan dan pihak pertambangan ngotot untuk mengeksploitasi bahan galian yang ada di bumi Lembata. Keterliban tentara tentu sangat diharapkan untuk memuluskan jalan mereka. Dengan kata lain, kehadiran KOREM (yang bertujuan untuk menjaga keamanan teritorial) bisa saja dimanfaatkan oleh Pemerintah setempat dan industri pertambangan yang ada guna menyukseskan rencana yang telah mereka sepakati.

Tulisan ini bukan berpretensi untuk membuktikan bahwa ada relasi yang erat antara rencana pembentukan KOREM (khususnya di Lembata) dengan pemberian ijin pertambangan di Lembata. Lebih dari itu, kehadiran KOREM dan industri pertambangan di Flores akan sangat berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan setempat jika kedua unsur ini berkolaborasi untuk satu tujuan, meraup keuntungan sebesar-besarnya dari potensi sumber daya alam yang ada di Flores. Kalau ini terjadi maka kejadian-kejadian yang telah dijelaskan di atas, berpotensi untuk terjadi lagi di Flores.

Menurut penulis, analisa seperti ini menjadi penting sebab dalam konteks masyarakat kita dewasa ini, kita gampang sekali terbuai dengan janji-janji manis yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan terselubung dibalik ucapan mereka. Diharapkan, tulisan ini dapat menggugah kesadaran kita untuk senantiasa curiga dan waspada terhadap berbagai retorika pihak tertentu yang mengumbar janji bagi kesejahteraan bersama (public welfare) dalam suatu masyarakat.

Akhirnya, agenda pembentukan KOREM dan ijin pertambangan di Lembata perlu dikaji lagi secara mendalam. Bila kedua agenda itu potensial untuk melahirkan dampak negatif yang jauh lebih besar ketimbang dampak positifnya, maka agenda tersebut sangat layak untuk dipertimbangkan kembali keberadaannya. Bila dipaksakan dan tidak memperhatikan aspirasi masyarakat, maka konsekuensinya jelas, berbagai persoalan serius seperti ketidakadilan, kehancuran ekologis, persoalan kemanusiaan (pelanggaran HAM) akan menanti kita dan masyarakat Flores khususnya.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Setuju....

Anonim mengatakan...

bolavita Agen Judi Bola Casino Baccarat Poker Togel QiuQiu online terpercaya dan terbesar di Indonesia, untuk pembukaan account semua jenis judi online

Boss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )

Posting Komentar