Maret 29, 2011

REKAYASA SEJARAH DAN KEJAHATAN HAM

(Buletin ASASI ELSAM Edisi Januari-Februari 2008)

Oleh Raimondus Arwalembun


Judul Buku:
Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia
Penulis:
Asvi Warman Adam
Penerbit:
Ombak, Yogyakarta
Tahun:
2006
Data Fisik:
xxv, 220 hlm


Sejarah tidak diturunkan dari langit tetapi sejarah merupakan ungkapan realita yang kembali disajikan dalam bentuk tulisan (maupun lisan) agar dapat dikenang dan dapat memahami peradaban dunia atau suatu bangsa dalam menata masa depannya. Kebenaran sejarah membawa sebuah bangsa pada penemuan identitas dirinya tetapi ketika sebuah bangsa menggelapkan sejarah maka bangsa tersebut akan kehilangan identitas dirinya dan pintu menuju kehancuran sudah menanti.

Rejim totaliter Orde Baru telah runtuh, sejarah Orde Baru telah berakhir. Dengan berhembusnya angin reformasi tahun 1998, maka kebenaran sejarah kembali dipertanyakan. Setahun setelah reformasi, Abdul Latief (mantan Komandan Brigade Infantri Kodam V Jaya) yang mengatakan di depan wartawan bahwa ia ingin “meluruskan sejarah” ketika ia dan sembilan narapidana politik perkara G30S dibebaskan dari penjara. Pernyataan Latief secara tidak langsung menunjukkan bahwa ada yang salah dengan sejarah bangsa kita, karena itu pelurusan sejarah harus menjadi salah satu agenda yang diperhitungkan agar kita dapat kembali membangun jati diri kita yang telah terkoyak-koyak oleh banyaknya kejahatan masa lalu. Adalah Asvi Warman Adam, peneliti utama pada pusat penelitian LIPI ini mengajak kita untuk melihat sisi kelam sejarah bangsa kita dalam bukunya Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Kenapa Soeharto? Karena mantan orang nomor satu Indonesia ini pernah berkuasa selama tiga dasawarsa dan semasa pemerintahannya, ia memiliki power untuk membentuk, mewarnai, dan sekaligus mengubah sejarah republik ini. Dengan kata lain, buku yang dibagi dalam empat bab ini mencoba menghubungkan satu bab dengan bab lainnya secara sistematis dan komprehensif guna mengungkapkan perekayasaan sejarah dan kejahatan HAM masa lalu yang dilakukan Soeharto. Tujuannya adalah mencari alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan guna mengadili Soeharto.

Dalam bab I, keabsahan Surat Perintah Sebelas Maret dipertanyakan. Apakah presiden Soekarno mengeluarkan Supersemar dengan sukarela seperti ketika ia mengeluarkan Testamen Politik 1945? Diduga bahwa proses penyusunan dan penyerahan Supersemar terkesan tidak wajar. Selain itu, dipertanyakan siapa pengetik Supersemar dan mungkinkah surat perintah yang asli dihilangkan karena diketik dengan kop Markas Besar Angkatan Darat? Lepas dari kontroversi Supersemar di atas, ada beberapa solusi yang ditawarkan oleh penulis dalam bab ini untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas. Diduga penyusunan maklumat politik oleh para pengikut Tan Malaka (2 Juli 1946 yang isinya seolah-olah presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Tan Malaka) mengilhami Soeharto untuk melakukan hal yang sama pada Supersemar dengan perhitungan yang lebih matang.

Dampak dari peristiwa 1965 mendapat perhatian utama dalam bab II. Ada beberapa dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut. Pertama, keinginan Abdul Latief untuk meluruskan sejarah. Menurutnya, Soeharto tidak berada di garis depan dalam Serangan Umum 1 Maret dan kecurigaannya bahwa Soeharto terlibat dalam kudeta berdarah tahun 1965. Inilah yang harus diluruskan, Soeharto dengan kekuasaannya telah merekayasa sejarah menurut keinginannya. Kedua, penahanan di kamp Pulau Buru. Mereka yang dibuang ke Pulau Buru adalah mereka yang dituduh terlibat dalam G30S atau PKI. Diduga dalam proses penahanan dan di kamp penahanan Pulau Buru telah terjadi pelanggaran berat HAM. Penulis menunjukkan bahwa berdasarkan fakta-fakta yang ditemui tampak bahwa Soeharto mengetahui tentang proses penahanan Pulau Buru dari awal bahkan sampai tahun 1972, Soeharto terindikasi membiarkan terjadi pelanggaran HAM berat di Pulau Buru. Ketiga, pelebelan “tak bermoral” bagi Gerwani. Gambaran tentang kebejatan moral Gerwani dalam menyiksa para jenderal kemudian membangkitkan kemarahan rakyat yang akhirnya menjadi salah satu pendorong bagi mereka dalam melakukan pembunuhan massal. Diduga pelebelan “tak bermoral” pada Gerwani mendapat inspirasi dari Germinal (Roman karya Emile Zola). Keempat, trauma yang dialami oleh anak-anak pahlawan revolusi juga trauma dan stigma yang diderita dan diterima oleh anak-anak korban PKI atau mereka yang dituduh komunis.

Pembahasan dalam bab III difokuskan pada penilaian terhadap Soeharto dan sejarahnya. Dalam kaitannya dengan Timor Timur (Timtim), harus ada konsensus penulisan sejarah antara Indonesia dan Timtim agar tidak bertolak belakang dan berdampak buruk bagi hubungan bertetangga. Penulisan ulang sejarah Timtim juga harus dikaitkan dengan dekolonialisme dan neo-kolonialisme. Kita harus berani mengakui bahwa dalam kasus Timtim kita menjadi penjajah dan Timtim adalah korban penjajahan. Intinya, penulisan sejarah Timtim dengan pendekatan rejim Orde Baru harus dikaji ulang. Menurut penulis, sejak peralihan kekuasaan dari orde lama ke Orde Baru, maka pengendalian sejarah dipegang oleh rejim Orde Baru. Strategi yang dipakai Orde Baru dalam mengendalikan sejarah adalah dengan cara mereduksi peran Soekarno dan membesar-besarkan jasa Soeharto.. Sejarah kita telah diputarbalikan oleh rejim Orde Baru menurut selera sang penguasa guna mempertahankan kekuasaannya. Segala cara dihalalkan, termasuk kejahatan dan kekerasan terhadap siapa saja yang dipandang membahayakan kekuasaan. Patut dicatat bahwa korban kekerasan pasca 1965 merupakan yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Karena itu, pengungkapan kekerasan dalam sejarah Indonesia (kekerasan yang tergolong sebagai pelanggaran berat HAM) harus diusut. Pengusutan kekerasan masa lalu harus segera dilakukan agar pelakunya dapat diadili dan harus ada proses rehabilitasi bagi para korban. Dalam proses pengusutan, ada beberapa kasus pelanggaran HAM yang perlu diprioritaskan penanganannya. Dari sekian kasus yang direkomendasikan dalam buku ini, pelanggaran HAM yang paling besar adalah pembantaian 1965 dan menurut Asvi Warman Adam menjadi tanggung jawab rejim Orde Baru.

Mengadili Soeharto, merupakan fokus utama dalam bab IV dan merupakan tema akhir yang dibahas dalam buku Asvi Warman Adam ini. Untuk memudahkan penyelidikan terhadap kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang diuga dilakukan, diketahui dan dibiarkan oleh Soeharto maka dibentuklah Tim Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Soeharto oleh Komnas HAM pada Januari 2003. Tujuannya untuk menyelidiki kejahatan HAM yang dilakukan oleh Soeharto semasa pemerintahannya mulai dari tahun 1965 – 1998. Hasil temuan dari Tim Penyelidik Pelanggaran HAM Berat Soeharto akan sangat menentukan apakah Soeharto dapat diadili atau tidak. Jika terbukti melakukan pelangggaran HAM, Soeharto harus diadili. Menurut penulis, di pengadilan akan terbukti apakah seseorang bersalah atau tidak. Jika Soeharto bersalah dan dijatuhi hukuman, sebaiknya ia diberikan amnesti oleh presiden mengingat usianya yang sudah lanjut. Ini akan menjadi pelajaran yang berharga bagi kita dalam menghormati HAM.

Harus diakui bahwa buku ini dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang kekelaman sejarah Indonesia dan sisi lain dari kehidupan Soeharto kepada kita, tetapi pertanyaan kritisnya adalah apakah setelah Soeharto diadili dan dihukum maka persoalan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan semasa rejim Orde Baru ini dapat diselesaikan? Jawabannya tidak saya temukan dalam buku ini karena fokus pembahasannya tertuju hanya pada sosok Soeharto, bagaimana membuktikan bahwa Soeharto bertanggung jawab terhadap pelanggaran berat HAM masa lalu dan harus diadili. Mungkin akan lebih menarik jika yang dilihat tidak hanya Soeharto sebagai penguasa Orde Baru tetapi “rejim Orde Baru secara keseluruhan” di mana Soeharto ada didalamnya. Artinya, selain Soeharto, adakah nama-nama lain yang yang ada di belakang atau ikut memuluskan jalan yang dirintis Soeharto? Kalau ada, maka mereka juga pantas memikul dosa Orde Baru, diadili dan dihukum.

Akhirnya lepas dari berbagai kekurangan yang mungkin akan ditemukan oleh para pembaca, buku ini pantas dijadikan salah satu referensi bagi siapa saja yang ingin menggali dan mengetahui kebenaran sejarah Indonesia yang telah direkayasa dengan sedemikian rapinya oleh Soeharto sepanjang pemerintahan Orde Baru. Perekayasaan sejarah yang diiringi oleh pelanggaran HAM berat oleh rejim Orde Baru ini akhirnya membuat penulis memberikan 10 alasan penting mengapa Soeharto harus diadili. Jika ingin mengetahui kesepuluh alasan yang diajukan oleh Asvi Warman Adam untuk mengadili Soeharto, maka silahkan membaca buku ini, Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

bolavita Agen Judi Bola Casino Baccarat Poker Togel QiuQiu online terpercaya dan terbesar di Indonesia, untuk pembukaan account semua jenis judi online

Boss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )

Posting Komentar