Maret 29, 2011

10 TAHUN REFORMASI

Review Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia

(Buletin ASASI ELSAM Edisi Januari-Februari 2008)

Oleh Raimondus Arwalembun


Peralihan pemerintahan dari rezim Orde Baru ke rezim reformasi memberikan angin segar bagi penegakkan HAM di Indonesia. Semasa pemerintahan Orde Baru, banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi seperti pelanggaran HAM Timor-timur, Tanjung Priok, Talang Sari Lampung, DOM Aceh, DOM Papua, dan sebagainya. Kasus-kasus pelanggaran HAM ini akhirnya diwariskan pada pemerintahan yang baru. Ada harapan bahwa Indonesia di bawah pemerintahan reformasi ini akan dapat menindaklanjuti pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim terdahulu guna memberikan keadilan bagi para korban dan menghukum dengan tegas para pelaku pelanggaran HAM yang terbukti bersalah.

Sepuluh (10) tahun sudah sejak reformasi dan dalam rentan waktu tersebut telah terjadi empat peralihan kekuasaan di Indonesia, peralihan kekuasaan dari BJ Habibie (Mei 1998-September 1999) ke Gus Dur (September 1999-September 2001), kemudian terjadi peralihan kekuasaan lagi dari Gus Dur ke Megawati Soekarno Poetri (September 2001-Oktober 2004) dan akhirnya dari Megawati Soekarno Poetri ke Susilo Bambang Yudhoyono (Oktober 2004-Sekarang). Muncul pertanyaan, apakah sepanjang periode di atas, penegakkan HAM di Indonesia benar-benar sudah memuaskan? Adakah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dalam rangka penegakkan HAM di Indonesia? Apakah kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah dapat dilaksanakan atau terindikasi melanggar HAM? Upaya-upaya apakah yang dapat kita ditempuh guna menegakkan HAM dan menghukum mereka yang terbukti melakukan pelanggaran HAM? Secara keseluruhan, tulisan ini mau mengajak kita untuk bersama-sama me-review kembali penegakkan HAM di Indonesia selama sepuluh (10) tahun terakhir dengan mencoba menjawab beberapa pertanyaan yang telah dilontarkan di atas.

HAM dan Kebijakan Pemerintah: Sebuah Kegagalan


Kesadaran bahwa Indonesia memiliki rapor yang buruk dalam hal pelanggaran HAM, maka pemerintah bertekad untuk menegakkan HAM dengan mengeluarkan beberapa kebijakan baru setelah runtuhnya rezim totaliter Orde Baru. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebenarnya merupakan jawaban atas tuntutan dari berbagai masyarakat yang ada di Indonesia, khususnya tuntutan penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, penghukuman terhadap para pelaku dan pemulihan hak-hak korban. Penghormatan terhadap hak asasi manusia sejak bergulirnya reformasi ditandai dengan dirumuskannya beberapa Ketetapan MPR, sebut saja: GBHN Tahun 1999-2000 dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2000, lahirnya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada tanggal 18 Agustus 2000 MPR telah menetapkan perubahan kedua UUD 1945 (mengatur tentang hak asasi manusia bab XA dan pertahanan dan keamanan Negara bab XII), Ketetapan MPR No.V/MPR/2000 (Tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, juga mengidentifikasi tentang pelaksanaan peran sospol ABRI yang telah disalahgunakan sebagai alat kekuasaan pada masa Orde Baru), TAP MPR No.VI/MPR/2000 (Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia), TAP MPR No. VII/MPR/2000 (Tentang sikap Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia diharuskan untuk bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak terlibat dalam politik praktis dan mendukung tegaknya demokrasi, menjunjung tinggi hukum dan HAM), Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 (Visi Indonesia 2020). Tujuannya jelas, untuk memajukan penegakkan HAM di Indonesia.

Selain beberapa Ketetapan MPR, pemerintah kemudian menerbitkan Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) 1998-2003 dalam Keputusan Presiden No. 129 Tahun 1998 tentang rencana Aksi Nasional hak asasi Manusia. RANHAM memuat empat elemen: Ratifikasi instrumen internasional, pelaksanaan instrumen yang sudah diratifikasi, perumusan tindakan prioritas untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia di Indonesia, serta pendidikan atau penyebaran informasi tentang hak asasi manusia.[1] Dan pada tahun 2000 pemerintah (lembaga negara) menciptakan suatu mekanisme penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia dengan pertama, menetapkan Komnas HAM sebagai badan legal yang memiliki mandat untuk menyelidiki peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kedua, menetapkan berdirinya pengadilan hak asasi manusia, melalui Undang-Undang pengadilan HAM No. 26 tahun 2000.

Walaupun banyak kebijakan pemerintah yang dikeluarkan semasa pemerintahan presiden Habibie, presiden Gus Dur dan presiden Megawati guna memperjuangkan penegakkan HAM di Indonesia,[2] namun ketiga pemerintahan ini dinilai gagal menjalankan cita-cita reformasi 1998. Mereka dinilai gagal karena kebijakan-kebijakan yang diharapkan mampu menangani pelanggaran hak asasi manusia seperti regulasi-regulasi baru yang memperkuat penegakkan HAM, reformasi pengadilan, penghapusan peraturan yang bertentangan dengan HAM, ratifikasi hukum HAM internasional, reformasi institusi Kepolisian, Militer dan Intelejen, dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu ternyata belum menyentuh lembaga-lembaga warisan Orde Baru, khususnya pemerintahan presiden Habibie dan Gus Dur di mana masa kekuasaan keduanya begitu singkat. Selain itu, beberapa orang yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM dan harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, ternyata menduduki jabatan-jabatan publik yang penting. Ini nampak dalam pemerintahan presiden Megawati.

Kalau penegakkan HAM dinilai gagal semasa pemerintahan presiden Habibie hingga presiden Megawati, maka bagaimana dengan upaya penegakkan HAM pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-sekarang)? Kalau pada periode sebelumnya telah diratifikasi beberapa instrumen hukum internasional (salah satu konvensi penting adalah International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965), maka pada masa pemerintahan SBY, proses peratifikasian dua kovenan utama hak asasi manusia yaitu Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya akhirnya dapat dilaksanakan. Namun patut disayangkan karena hampir semua lembaga negara malah menyia-nyiakan peratifikasian dua kovenan utama di atas dan hukum HAM yang dibuatnya.[3]

Lepas dari adanya beberapa peratifikasian hukum internasional dan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan baru dalam proses penegakkan HAM, pemerintahan SBY juga dinilai gagal, pemerintahan terkesan tidak berani menegakkan hukum HAM, ini nampak dengan dibebaskannya terdakwa kasus Priok, Abepura dan Timtim. Selain itu, kekerasan yang dilakukan aparat negara (Kepolisian dan Militer) masih tinggi, ini menunjukkan bahwa reformasi di tubuh Militer dan Kepolisian mulai mundur. Ketidakmampuan pemerintah menegakkan hukum HAM dapat dilihat dari beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, seperti penutupan tempat ibadah, pelarangan beribadah, dan konflik antara kelompok agama, tudingan aliran sesat terhadap kelompok tertentu, dan sebagainya. Melihat kasus-kasus di atas, pemerintah (aparat negara) terkesan melepaskan tanggung jawabnya. Kalau sudah begini, pertanyaannya adalah dimanakah tanggung jawab negara dalam menjamin hak dasar warga negara?

Penegakkan HAM: Sebuah Harapan

Sepuluh (10) tahun sudah kita melangkah keluar dari rezim totaliter Orde Baru dengan membawa harapan baru agar penghormatan terhadap hak asasi manusia dapat ditegakkan di negeri ini. Sepuluh (10) tahun sudah pemerintah berjuang untuk menegakkan HAM dengan dikeluarkannya berbagai macam kebijakan seperti regulasi-regulasi baru yang memperkuat penegakkan HAM, reformasi pengadilan, penghapusan peraturan yang bertentangan dengan HAM, ratifikasi hukum HAM internasional, reformasi institusi Kepolisian, Militer dan Intelejen, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, dan sebagainya. Sepuluh (10) tahun para korban pelanggaran HAM rezim Orde Baru berharap-harap cemas menunggu dan bertanya-tanya, kapan para pelaku pelanggaran HAM itu diproses dan dihukum?

Selama sepuluh (10) tahun, telah terjadi pergantian kekuasaan di negeri ini selama empat periode, dan sampai saat ini harapan yang diusung sejak reformasi seperti menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dan menciptakan penegakkan hak asasi manusia yang lebih baik hanya tinggal harapan. Belum tuntasnya proses hukum bagi para pelanggar HAM masa lalu, sudah muncul lagi pelanggaran-pelanggaran HAM baru yang terjadi hampir di berbagai tempat di Indonesia selama bergulirnya reformasi. Kalau kenyataannya seperti ini, lantas apakah yang dapat kita lakukan agar penegakkan HAM di negara ini tidak hanya menjadi sebuah harapan tetapi dapat diwujudkan? Perjuangan ini harus di mulai dengan tiga hal. Ketiga hal itu adalah, perjuangan melawan ketidaktahuan, perjuangan melawan kelupaan dan perjuangan melawan kealpaan.[4]

Perjuangan melawan ketidaktahuan berarti berjuang untuk menyadarkan masyarakat yang tidak tahu kalau mereka memiliki hak asasi manusia dan aparat negara yang tidak mengetahui atau memiliki pengetahuan yang sangat minim tentang hak asasi manusia. Hal ini penting agar kekejaman (yang dilakukan oleh aparat negara) dan ketidakadilan (yang dialami oleh korban/masyarakat) tidak dianggap sebagai sesuatu yang wajar atau seharusnya terjadi.

Perjuangan melawan kelupaan berarti berusaha melawan penglupaan hak asasi manusia karena terbiasa menyaksikan pelanggaran dan tidak efektifnya penanganannnya. Dengan kata lain, masyarakat dan negara sama-sama lupa walaupun masyarakat tahu bahwa mereka memiliki hak asasi manusia, begitu juga dengan negara, negara tahu bahwa ia harus menjamin pemenuhan hak asasi warganya. Ini terjadi karena kita sering dan terbiasa dihadapkan pada realita seperti ketidakadilan, pelanggaran HAM dan berkeliarannya para pelaku pelanggran HAM dengan bebas.

Dan perjuangan melawan kealpaan. Masyarakat dan negara mungkin tahu dan tidak lupa, tetapi mereka sama-sama alpa atau lalai. Kita sering tahu bahwa pelanggaran HAM merupakan kejahatan tetapi kita enggan untuk terlibat bahkan tidak peduli dengan efek yang ditimbulkan. Begitu juga dengan negara, banyak kekerasan dan kejahatan yang terindikasi melanggar hak asasi manusia, tetapi negara sepertinya diam, tidak melakukan apa-apa, apalagi sampai menghukum pelakunya. Dalam diskursus hak asasi manusia, Kealpaan atau kelalaian adalah kejahatan, kejahatan by omission (dengan tidak melakukan).

Perjuangan melawan ketiga hal di atas menunjukkan bahwa masyarakat dan negara harus memiliki satu visi dan misi yang sama. Proses penegakkan HAM dapat dilakukan jika negara dan masyarakat (termasuk LSM-LSM) menyadari kelemahan masing-masing dan berjuang bersama-sama mewujudkan hak asasi manusia di negeri yang kita cintai ini. Dan yang terpenting adalah bagaimana kejelihan kita dalam melihat lubang-lubang hukum (lacune legis) yang dipakai pihak tertentu untuk meloloskan diri dari hukum. Artinya, semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah guna mewujudkan penegakkan HAM harus terbuka terhadap kritik yang datang dari masyarakat agar penerapannya di lapangan dapat berjalan sesuai dengan harapan kita semua.

Ke depan adalah tugas kita semua untuk mewujudkan penegakkan HAM ke arah yang lebih baik. Dan menurut hemat saya, harus didahului dengan kesadaran dalam memerangi ketiga hal di atas dan diikuti kemampuan dalam mengkritisi dan menciptakan hukum HAM yang sesuai dengan tuntutan jaman. Dengan demikian, para pelaku pelanggaran HAM tak akan berkeliaran menghirup udara kebebasan seperti sekarang ini.



Catatan:

[1] Lihat: Laporan Hak Asasi Manusia 2003, Melemahnya Daya Penegakan Hak Asasi Manusia: Hutang, Kemiskinan dan Kekerasan, Jakarta: ELSAM, Januari 2004, hal. 8
[2] Mulai dari pembentukan Komnas perempuan, ratifikasi CAT, ratifikasi tiga instrument ILO (kerja paksa, pekerja anak dan diskriminasi), dan beberapa Keppres (tentang pembentukan tim penyelidikan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat, dan sebagainya. Ibid, hal. 9
[3] Lihat: Siaran Pers No: 01/SP-KontraS/I/2006 Tentang Refleksi akhir tahun 2005 dan Proyeksi tahun 2006 (http://www.kontras.org)
[4] Untuk penjelasan yang lebih komprehensif lihat tulisan Edisius Riyadi Terre yang dipresentasikan pada Training Hak Sipil dan Politik Berperspektif Jender (18 September 2006) di Lampung dengan judul: Hak Asasi Manusia: Sebuah Telusuran Genealogis dan Paradigmatik, hal. 31-33

1 komentar:

Unknown mengatakan...

bolavita Agen Judi Bola Casino Baccarat Poker Togel QiuQiu online terpercaya dan terbesar di Indonesia, untuk pembukaan account semua jenis judi online

Boss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )

Posting Komentar