Maret 29, 2011

Soren Kierkegaard dan Kebenaran Eksistensial

Oleh Raimondus Arwalembun


PENGANTAR


Kierkegaard adalah filsuf eksistensialis pertama yang kemudian pemikirannya memberikan warna tersendiri pada filsafat Barat modern. Selain itu harus diakui bahwa kritiknya atas Hegel secara tidak langsung mengajak kita untuk merefleksikan dan memikirkan secara lebih serius eksistensi kita sebagai manusia.

Manusia selalu dihadapkan pada pergulatan batin yang membuat orang memusatkan perhatian pada gejolak-gejolak hati seperti harapan, kekecewaan, dan pengambilan keputusan eksistensial yang harus diambil dalam waktu dekat untuk masa depannya.
Keputusan eksistensial bersifat subyektif (bertindak berdasarkan keyakinan atau apa yang dipersepsikan sebagai kebenaran). Pandangan filosofis seperti inilah yang ditunjukkan oleh Soren Kierkegaard. Semua ini berangkat dari hasil refleksinya yang mendalam terhadap proyek filosofis Hegel (abstaksionisme), di mana kesadaran manusia hanyalah sebuah momen dalam dialektika.

Berbicara tentang konsep kebenaran dalam perspektif eksistensial (dalam pandangan Kierkegaard) maka mau tidak mau kita juga harus berbicara tentang konsep kebenaran ala Hegel. Mengapa demikian? Karena konsep kebenaran dalam pandangan Kierkegaard merupakan kritik atas konsep kebenaran ala Hegel, kebenaran subyektif versus kebenaran obyektif, kebenaran sebagai subyektivitas versus kebenaran sebagai totalitas.

Tulisan ini pertama-tama akan membahas kritik Kierkegaard terhadap konsep kebenaran Hegel. Kedua, akan dibahas konsep kebenaran menurut Kierkegaard (kebenaran sebagai subyektivitas) dan sebagai penutup akan dibahas beberapa catatan kritis dan sumbangan pemikiran Kierkegaard bagi kita.

KRITIK ATAS HEGEL

Proyek filosofis Hegel adalah untuk memahami dan mensintesiskan semua perbedaan yang ada atau dengan kata lain Hegel ingin membangun suatu sistem filsafat yang komprehensif sehingga dapat memuat semua gagasan yang telah diajukan para filsuf terdahulu (lihat, Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia 2004, hlm. 34). Dalam filsafat Hegel nampak bahwa segala perlawanan dan pertentangan mau diangkat dan diatasi (aufhebung), melalui proses aufhebung akan dicapai final synthesis. Menurut Hegel, kebenaran hanya akan tercapai apabila terjadi proses aufhebung, yakni sintesis terakhir antara pikiran dan realitas.

Jika Hegel mengatakan bahwa kebenaran adalah totalitas (keseluruhan), maka Kierkegaard mengatakan bahwa kebenaran adalah subyektivitas, kebenaran obyektif itu memang ada tetapi tidak dapat diketahui sepenuhnya oleh manusia (subyek). Manusia hanya bisa mendekati kebenaran obyektif karena itu hanya ada dan diketahui oleh Allah. Dengan demikian, Kierkegaard mengkritik Hegel karena dengan proyek filosofisnya itu Hegel telah meleburkan individualitas ke dalam sistem filsafatnya. Di dalam sistem filsafat Hegel, tidak ada ruang bagi individu.

KONSEP KEBENARAN MENURUT KIERKEGAARD

Apakah konsep kebenaran obyektif pada Hegel dapat dicapai manusia? Menurut Kierkegaard konsep kebenaran seperti itu tidak mungkin dicapai manusia karena kebenaran itu secara empiris konkret, kebenaran diletakkan dalam proses menjadi dan berada dalam antisipasi kecocokan dari "pikiran" dan "ada." Implikasinya jelas, kebenaran obyektif hanya ada dan sungguh-sungguh disadari oleh Allah tetapi tidak disadari oleh manusia (existing spirit) yang secara esensial berada dalam proses menjadi (becoming).

Penolakan Kirekegaard terhadap konsep kebenaran Hegel bukanlah sesuatu yang mengejutkan karena ia telah mempersiapkan konsep kebenarannya sendiri. Menurutnya, kebenaran adalah subyektivitas. Mengapa Kierkegaard sampai pada kesimpulan bahwa truth is subjectivity?
Being (Sebuah Pemahaman)

Bagi Kierkegard, "pikiran" dan "ada" merupakan dua hal yang berbeda. Menurutnya, "ada" mendahului "pikiran," manusia ada dahulu dan kemudian baru berpikir, manusia dapat sekaligus berpikir dan ada tetapi manusia tetap ada walaupun tidak berpikir (eksistensi mendahului esensi).

Dalam pemikiran Kierkegaard, ada (being) dapat dipahami dalam dua arti. Pertama, jika ada (being) dipahami sebagai pengad empiris mka kebenaran menjadi sebuah idea yang diperjuangkan untuk dapat dicapai tetapi tidak sepenuhnya dapat digapai. Hal ini disebabkan karena subyek yang mengetahui dan obyek empiris berada dalam proses menjadi. Kedua, jika ada (being) dipahami sebagai refleksi abstrak terhadap ada (being), maka ketika refleksi melakukan abstraksi atas pengada yang konkret, pemikiran dapat menganggap bahwa korespondensi antara pikiran dan ada telah selesai dan lengkap. Abstraksi ini membuat obyek menjadi pengada konseptual murni (Lihat, Soren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postcript to Philosophical Fragments-Vol. 1, New Jersey: Princeton Press 1992, hlm. 189-190).

Yang mau ditekankan Kierkegaard di sini adalah bahwa refleksi obyektif tidak bisa mencapai pengetahuan mengenai ada empirik namun obyek tetap harus ditransformasikan menjadi konsep abstrak. Dengan demikian Kierkegaard mendekati kebenaran dari sudut pandang lain, refleksi subyektif.

Refleksi Subyektif

Mengapa Kierkegaard membedakan refleksi subyektif dan refleksi obyektif? Pembedaan ini dilakukan agar dapat menunjukkan bahwa kebenaran hanya dapat diperoleh lewat refleksi individu dan bukan sebaliknya. Menurutnya, cara refleksi obyektif pada akhirnya membawa pikiran menjauh dari subyek, subyektifitas menjadi sesuatu yang indiferrent (Ibid, Soren Kierkegaard, CUP, hlm. 193). Ini berbeda dengan refleksi subyektif. Dengan refleksi subyektif Kierkegaard mengarahkan penyelidikannya pada subyek, subyek yang bereksistensi dan bukan subyek yang berpikir. Di sini jelas bahwa ketika pertanyaan tentang kebenaran ditanyakan secara subyektif maka refleksi diarahkan secara subyektif pada hakekat relasi sang individu (Ibid, Soren Kierkegaard, CUP, hlm. 199)

Penekanan ada pada eksistensi individu menunjukkan setiap tindakan berada dalm proses menjadi yang menandai ada empiris. Apa yang khas dalam status proses menjadi adalah penuntunan diri, kita memutuskan apa yang akan kita lakukan. Artinya, pertanyaan tentang kebenaran selalu melibatkan pertanyaan tentang diri individu, ada relasi antara individu dan kebenaran.

Untuk memperjelas perbedaan itu, maka Kierkegaard mempertegas bahwa cara refleksi obyektif jatuh pada "apa" yang dikatakan dan cara refleksi subyektif jatuh pada "bagaimana" mengatakannya (Lihat, Richard Campbell, Truth and Historicity, Oxford: Clarendon Press 1992, hlm. 301). Yang penting bukanlah isi dari apa yang dikatakan tetapi bagaimana bentuk dari apa yang mau dikatakan itu diungkapkan dalam kehidupan.
Dengan demikian, Kierkegaard menyimpulkan bahwa kebenaran adalah ketidakpastian obyektif yang dipeluk lewat proses apropriasi. Dengan kata lain, kebenaran obyektif adalah kebenaran yang diperoleh tanpa membutuhkan usaha apropriasi dari subyek yang mengetahui. Ini tentu berbeda dengan kebenaran subyektif yang yang harus diusahakan dan diperoleh lewat proses apropriasi dari subyek yang mengetahui.

Kebenaran sebagai Subyektivitas: Sebuah Usaha Apropriasi

Kebenaran sebagai subyektivitas berarti memperlihatkan bagaimana kebenaran itu diperoleh subyek dan menjadikannya sebagai milik (bagian) dalam hidupnya. Hal ini nampak dalam proses pengambilan keputusan ketika subyek dihadapkan pada berbagai macam pilihan dalam hidup. Mengambil keputusan dalam bentuk memilih dengan penuh keyakinan dan menjalankannya penuh komitmen dengan seluruh eksistensinya itulah yang disebut kebenaran, kebenaran sebagai subyektivitas.

Dengan memilih, subyek melepaskan pilihan-pilihan lainnya. Karena itu keyakinan untuk memeluk pilihan secara pribadi dan bebas merupakan kunci untuk melepaskan subyek dari penderitaan. Orang harus berani "melompat" dan meyakini apa yang dipeluknya, ini hanya dapat dilakukan bila subyek memiliki iman (faith), termasuk iman pada yang ilahi (Lihat, Thomas Hidya Tjaya, hlm. 124). Bagi Kierkegaard, iman adalah the contradiction between the infinite passion of inwardness and the objective uncertainty (Soren Kierkegaard, CUP, hlm. 204). Memilih dengan penuh keyakinan (faith) berarti melompat ke dalam ketidakpastian obyektif dan dengan hasrat yang tak terbatas menjalankannya dengan penuh komitmen. Inilah yang disebut kebenaran yang secara obyektif adalah sebuah paradoks dan dengan demikian subyektivitas adalah kebenaran (Ibid, Soren Kierkegaard, CUP), kebenaran yang dijadikan sebagai milik pribadi (apropriasi).

PENUTUP

Tak dapat dipungkiri bahwa Soren Kierkegaard adalah filsuf pertama yang membahas secara mendalam problematika manusia individu dengan seluruh eksistensinya ke dalam pemikiran filsafat. Pemikirannya yang mengacu pada eksistensi manusia secara tidak langsung telah membangunkan kita yang terlelap dengan arus kerumunan obyektif yang membelenggu kita.

Untuk tidak salah menginterpretasikan kebenaran yang dimaksud Kierkegaard, maka harus digarisbawahi bahwa kebenaran subyektif perlu dipahami sebagai kebenaran yang bersifat esensial bagi eksistensi manusia (Thomas Hidya Tjaya, hlm. 122) yakni kebenaran moral dan religius. Artinya, Kierkegaard sama sekali tidak menolak adanya kebenaran obyektif, dalam hal ini ia percaya bahwa kebenaran obyektif dapat dicapai oleh ilmu-ilmu pengetahuan. Namun lepas dari semua itu pemikiran Kierkegaard tidaklah sesempurna yang dipikirkan. Dengan menekankan unsur subyektif, secara radikal ia telah mengabaikan hubungan intersubyektif, di mana manusia selalu ada di dunia ini dengan yang lainnya. Manusia tidak perlu menarik diri dan menyangkal dunia dan hanya terfokus pada dirinya sendiri.

Akhirnya, kalau Alfred North Whitehead mengatakan bahwa seluruh pemikiran filsafat Barat adalah catatan kaki dari pemikiran Plato, maka menurut hemat penulis bentuk pergumulan pemikiran para filsuf eksistensialisme sesudah Kierkegaard hanya merupakan pengembangan lebih lanjut dari pemikiran Kierkegaard.

0 komentar:

Posting Komentar