Maret 29, 2011

DIALOG ANTARAGAMA: JALAN MENUJU PERDAMAIAN DUNIA

(Sebuah Tinjauan Atas Pemikiran Alfred North Whitehead)

Oleh Raimondus Arwalembun 

"Religion is solitariness; and if you are never solitary, you are never religious" 
(Alfred North Whitehead, Religion in the Making, page. 15)

Sekilas Tentang Alfred North Whitehead

Alfred North Whitehead dibesarkan di dalam iklim keluarga yang memberi perhatian sepanjang hidup mereka dalam bidang pendidikan, agama dan pemerintahan lokal. Ia dilahirkan pada 15 Februari 1861 di Ramsgate, Kent, Inggris dan menetap di kampung halamannya ini sampai berumur kurang lebih 14 tahun. Sepanjang waktu itu, Whitehead diajar oleh ayahnya sendiri untuk menguasai bahasa Latin dan Yunani. Ia mulai mempelajari bahasa Latin sejak berumur 10 tahun dan bahasa Yunani ketika berumur 12 tahun. Selain ketertarikannya dalam bidang pendidikan, minatnya terhadap sejarah dipengaruhi oleh perjumpaannya dengan beberapa peninggalan sejarah yang berada tidak jauh dari tempat tinggalnya, seperti kemegahan Katedral Canterbury, Richborough Castle yang dibangun oleh bangsa Romawi, pantai Ebbes Fleet yang merupakan tempat bangsa Saxon dan Agustinius ketika mendarat di Inggris.

Ketika berumur 15 tahun (1875), Ia dikirim ayahnya ke bagian selatan Inggris (Dorsetshire) untuk sekolah di Sherborne. Di sekolah ini bakat Whitehead terhadap pendidikan dan sejarah mengalami kemajuan (minatnya terhadap ilmu matematika mulai muncul, ini menunjukkan awal karir intelektual pertamanya kelak). Karena kepandaiannya, Whitehead dipercayakan menjadi prefek (semacam ketua OSIS). Setelah lulus dari Sherborne, Whitehead kemudian melanjutkan studinya di Trinity College, Cambridge (1880). Hal menarik yang diungkapkan Whitehead ketika belajar disini adalah during my whole undergraduate period at Trinity, all my lectures were on mathematics, pure and applied. I never went inside another lecture room. Perhatiannya yang besar terhadap ilmu matematika tidak menghalanginya untuk mempelajari ilmu lain, hal ini nampak dalam keterlibatannya pada kelompok belajar The Apostles. Sebagai anggota kelompok belajar The Apostles yang biasanya berkumpul setiap sabtu malam (diskusi biasanya dimulai jam 10.00 P.M), Whitehead banyak mendapat tambahan pengetahuan karena di dalam kelompok ini mereka mendiskusikan banyak hal, seperti permasalahan politik, keagamaan, filsafat dan literatur lainnya.

Pada tahun 1985, Whitehead diminta menjadi guru muda di Trinity College dan mendapat pengakuan sebagai pengajar senior pada tahun 1910. Desember 1890, Whitehead menikah dengan Evelyn Willoughby Wade dan dikaruniai tiga (3) orang anak yang lahir antara tahun tahun 1891 sampai 1898, kemudian mereka tinggal selama delapan (8) tahun (1898-1906) di Grantchester. Whitehead mengakui bahwa pengaruh Evelyn dalam karir intelektualnya begitu besar, the effect of my wife upon my outlook on the world has been so fundamental, that is must be mentioned as an essential factor in my philosophic output (khususnya dalam bidang keindahan, moral dan seni). Karirnya terus berkembang, pada tahun 1910 ia dan keluarganya meninggalkan Cambridge dan pindah ke London. Di London, ia mengajar matematika di University College (1911-1914). Tahun 1914-1924, Whitehead mengajar di Imperial College of Science and Technology di Kensington. Ia diangkat menjadi prosesor dan memegang beberapa jabatan penting lainnya. Ketika berumur 63 tahun (1924), Whitehead mendapat kehormatan dari salah satu universitas terkenal di Amerika, ia mendapat tawaran untuk menjadi pengajar filsafat di Universitas Harvard. Disinilah pemikiran filosofisnya benar-benar dibangun lewat buku-buku filsafat yang ditulisnya. Akhirnya pada 30 Desember 1947, Alfred North Whitehead salah satu filsuf besar abad ini meninggal dunia.

Pengertian Perdamian Dunia

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perdamaian diartikan sebagai (1) penghentian permusuhan (perselisihan); (2) perihal damai/berdamai.[1] Dengan kata lain, perdamaian berarti dapat hidup berdampingan tanpa adanya rasa permusuhan dari satu kelompok dengan kelompok lainnya. Konsili Vatikan II (dalam Gaudium et Spes, 78) menegaskan bahwa Perdamaian bukan hanya sekedar berarti tiadanya perang, bukan juga semata-mata menjaga keseimbangan kekuatan antara pihak-pihak yang bermusuhan. Tetapi lebih-lebih perdamaian adalah suatu proses yang dinamis yang harus memperhitungkan beranekaragam keadaan dan unsur yang dapat membantu atau malahan mengganggunya.[2]

Whitehead, tidak berbicara secara langsung tentang perdamaian (dunia), tetapi dalam bukunya Adventures of Ideas, kita dapat menemukan konsep ini lewat pemikirannya tentang ciri-ciri masyarakat yang beradab (berbudaya). Setidaknya dalam pokok bahasan civilization, ada lima (5)[3] ciri yang dapat menunjukkan bahwa suatu masyarakat itu beradab atau tidak. Salah satu dari kelima ciri itu adalah peace. Whitehead memaksudkan damai (peace) sebagai sebuah upaya mencari atau menemukan suatu tatanan keselarasan dari aneka ragam keselarasan yang dipadukan secara bersama dengan 4 (empat) unsur lainnya (kebenaran, keindahan, seni, petualangan), sehingga menyingkirkan dari pengertian kita tentang peradaban, egoisme yang resah, yang dalam kenyataannya telah menandai upaya perwujudannya.[4] Menurutnya, peace (rasa damai) yang merupakan tuntutan untuk suatu masyarakat yang beradab dapat ditunjang oleh kehidupan beragama.[5]
Artinya, rasa damai (baca: perdamaian) yang menjadi keinginan dan harapan terdalam umat manusia ini dapat diusahakan lewat agama.

Dengan demikian, perdamaian bukan hanya masalah tidak adanya perang atau terciptanya kerukunan antar negara, institusi atau lembaga tetapi lebih dari itu perdamaian yang dimaksud oleh penulis adalah kedamaian batin. Rasa damai yang berakar dari dalam hati setiap orang yang kemudian berimplikasi pada semua level kehidupan. Kalau ini terjadi maka tak akan ada perang, kejahatan dan permusuhan antar manusia, lembaga atau institusi, bahkan antar negara. Inilah yang dimaksud dengan perdamaian.

Agama dan Manusia
Tak dapat dipungkiri bahwa hampir sebagian besar penghuni bumi ini beragama. Artinya, sebagian besar bangsa-bangsa di bumi menganut salah satu dari agama-agama yang ada, baik agama-agama besar[6] maupun agama-agama primordial atau kesukuan lainnya. Pertanyaannya adalah, mengapa manusia harus beragama? Karena agama dapat memberikan rasa damai bagi manusia. Manusia pada dasarnya ingin hidup damai, kedamaian akhirnya dicari dalam agama dan rasa damai itu ditemukan lewat keyakinan bahwa Allah adalah ukuran bagi keselarasan dunia.[7] Karena itu, hubungan antara agama sebagai pemberi rasa damai dan manusia yang ingin hidup damai dapat dijadikan patokan awal guna mengusahakan perdamaian dunia.

Menurut Whitehead, agama adalah pengalaman dasariah manusia di mana agama adalah pengalaman perjumpaan manusia dengan Allah. Sebagai pengalaman dasariah, agama sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Artinya, watak atau sifat kita muncul berdasarkan apa yang kita imani dalam agama.[8] Dengan kata lain, kelakuan yang baik memang bisa merupakan suatu hasil hidup beragama, karena, kalau dihayati secara ikhlas dan dimengerti secara benar, agama akan menghasilkan suatu pertobatan, suatu perubahan watak dari yang buruk menjadi baik.[9]

Berangkat dari pemahaman di atas, maka dapat dikatakan bahwa perdamaian dunia hanya mungkin diusahakan oleh manusia, dan salah satu jalannya adalah dengan memahami secara tepat apa itu agama. Relasi antara agama dan manusia selanjutnya menurut hemat penulis akan sangat menentukan apakah cita-cita di atas (perdamaian dunia) dapat diwujudkan atau tidak. Artinya, jika agama dipahami dalam konteks agama rasional (agama yang berani bertualang, terbuka terhadap perubahan) maka perdamaian dunia mungkin tercipta, tetapi jika agama dipahami secara tertutup (eksklusif) maka tak akan ada dialog dan penghargaan terhadap keyakinan agama lain. Agama ada untuk manusia dan bukan manusia ada untuk agama, karena itu agama harus terbuka dan mau berdialog dengan semua unsur kehidupan guna menciptakan perdamaian di dunia ini. Dalam hal ini, manusia dalam relasinya dengan agama menjadi agent utama dalam mengupayakan perdamaian dunia.

Agama dan Perdamaian Dunia
Dalam pemikiran Whitehead, suatu agama kalau dihayati secara ikhlas dan dimengerti secara benar akan menghasilkan suatu pertobatan, suatu perubahan watak dari yang buruk menjadi baik. Dengan kata lain, pernyataan Whitehead ini kalau dilihat lebih jauh dalam kaitannya dengan perdamaian dunia, sesungguhnya ia mau mengatakan bahwa jalan menuju perdamaian dunia dapat ditempuh lewat agama karena agama dapat menghasilkan pertobatan dan perubahan watak.

Ada beberapa pemikir yang menyetujui bahwa perdamaian dunia dapat diusahakan lewat agama, sebut saja Raimon Panikkar dan Hans Küng. Dalam bukunya Cultural Disarmament, Panikkar menulis bahwa agama adalah salah satu jalan yang dapat dipakai untuk menciptakan perdamaian.[10] Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin agama-agama yang berbeda itu dapat menciptakan perdamian dunia? Menurutnya, memang harus diakui bahwa semua agama yang ada pertama-tama tidak sama, namun harus diakui juga bahwa semua agama pasti menerima proposisi di atas di mana fokus semua agama adalah membawa perdamaian pada manusia dan tentunya perdamaian bagi seluruh dunia.

Sama seperti Panikkar, Hans Küng juga sependapat. Thesisnya yang terkenal berbunyi: Tidak ada perdamaian dunia tanpa adanya perdamaian antara agama-agama. Tidak ada perdamaian antara agama tanpa adanya dialog antaragama.[11] Sesungguhnya, pernyataan Hans Küng dalam bukunya Global Responsibility mau memperlihatkan bahwa ada hubungan yang erat antara agama dan perdamaian dunia. Artinya, membicarakan perdamaian dunia berarti mau tidak mau harus membicarakan juga agama. Dengan kata lain, semua agama menginginkan adanya perdamaian dunia, karena itu perdamaian dunia hanya dapat mungkin tercipta kalau ada perdamaian antara agama-agama yang diwujudkan lewat terciptanya dialog antaragama.

Selain kedua pemikir di atas, bagi (almarhum) Yohanes Paulus II, perdamaian sejati tidak akan terwujud jika hanya diupayakan secara politis dan ekonomi, sebab perdamaian sejati pada dasarnya adalah perubahan hati, pembaruan sikap serta mentalitas dalam hidup manusia, sehingga sikap intoleran dan agresif, kebencian atau ketidakpercayaan akan umat beragama lain dapat dihindari.[12] Senada dengan Yohanes Paulus II, Paus Benediktus XVI dalam pesannya sehari setelah pengukuhannya sebagai Paus (25 April 2005) mengatakan bahwa dunia dewasa ini ditandai dengan konflik, kekerasan dan perang. Perdamaian dicari di tengah konteks dunia seperti ini. Agama-agama memiliki peran nyata dalam hal ini, karena menyadari bahwa perdamaian sejati hanyalah perdamaian yang berasal dari Allah. Oleh karena itu, agama-agama pun semakin dipanggil di tengah realitas dunia dewasa ini menjadi agama bagi perdamaian.[13]

Dari pernyataan-pernyataan di atas, kita dapat mengatakan bahwa perdamaian dunia merupakan persoalan dasar manusia, persoalan dasar karena perdamaian dunia merupakan impian setiap manusia di muka bumi ini dan agama kalau dimengerti secara benar akan mampu membimbing manusia untuk mewujudkan impian itu. Karena itu kita tidak dapat mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara agama dan perdamian dunia. Dalam hubungannya dengan perdamaian dunia, keduanya tidak dapat dipisahkan, keduanya berjalan beriringan. Beragama berarti diajak untuk ikut bertanggung jawab dalam menciptakan perdamaian dunia dan perdamaian dunia merupakan impian terdalam manusia sekaligus merupakan tugas setiap agama di dunia ini.

Agama dan Dialog antaragama
Bagi Whitehead, agama-agama perlu melibatkan diri dalam dialog antaragama. Dialog antaragama itu penting dan merupkan keharusan karena: pertama, Allah itu berdialog dengan segala sesuatu. Allah tidak hadir dalam pribadi tertentu maupun masyarakat tertentu saja, Allah hadir dalam setiap pribadi dan masyarakat. Artinya, setiap satuan aktual senantiasa memuat pesan Allah sehingga dalam setiap satuan aktual kita dapat menemukan Allah. Dalam hubungannya dengan agama, Allah juga hadir dalam setiap agama. Karena itu, kita dapat menemukan pesan Allah dalam agama lain sejauh kita berdialog dengan agama tersebut. Setiap agama memiliki pengalaman keagamaan yang beraneka ragam dan memiliki kekhasannya masing-masing. Melalui dialog antaragama, kita dapat mengenal rencana Allah yang diberikan kepada orang lain. Dengan berdialog kita akan memperkaya pengalaman dan pemahaman kita akan Allah, dunia dan sesama.

Kedua, dialog antaragama merupakan cara agama itu menjadi dirinya sendiri. Agama akan menjadi dirinya sendiri, sejauh dia menjalankan dialog dengan semua unsur di dalam semesta, termasuk di dalamnya agama-agama lainnya. Karena itu dialog antaragama adalah sebuah proses memberi dan menerima di antara agama-agama, di dalamnya agama-agama akan saling membentuk.[14] Dengan kata lain, dialog antaragama adalah jantung dari agama-agama yang ada. Lewat dialog antaragama, maka pemahaman kita terhadap agama kita dan agama lain akan semakin jelas dan membuka cakrawala berpikir kita ke arah yang lebih baik.

Namun bagaimana agar dialog antaragama dapat diwujudkan? Dialog antaragama dapat diwujudkan jika memenuhi beberapa persyaratan;[15] Hakekat dari dialog antaragama pertama-tama menuntut keterbukaan dari setiap pesertanya. Artinya, keterbukaan ini memungkinkan munculnya sikap menghargai terhadap kekhasan masing-masing agama. Keterbukaan menjadi kata kunci, yang dimaksud disini bukanlah keterbukaan yang mengarah pada pembentukan satu agama tetapi keterbukaan dalam menyampaikan dan menerima inti iman dan kekahasan ajaran (dogma) dari masing-masing agama dan mencoba merumuskan nilai-nilai universal yang ada dalam diri setiap agama demi terciptanya perdamaian. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam dialog antaragama, yang dicari bukan hanya unsur kesamaan yang ada pada setiap agama tetapi juga perbedaan atau kekhasan yang ada dalam diri masing-masing agama.

Dialog antaragama akan lebih terasa manfaatnya jika pelaksanaannya didasarkan atas dorongan iman, berdialog dalam tingkat iman. Adalah Raimundo Panikkar yang mencoba merumuskan jalan menuju “dialog intrareligius.”[16] Baginya, “dialog intrareligius” adalah suatu dialog batin dalam diri saya sendiri, suatu perjumpaan dalam kereligiusan pribadi saya yang paling dalam, sesudah menjumpai pengalaman religius orang lain pada tingkat yang paling intim.[17] Tujuannya adalah pemahaman dan bukan untuk mengalahkan yang lain atau untuk mencapai kesepakatan penuh atau pada suatu agama universal, tetapi menciptakan komunikasi untuk menjembatani jurang ketidaktahuan dan kesalapahaman timbal balik antara budaya dunia yang berbeda-beda, membiarkan mereka bicara dan mengungkapkan pandangan mereka dalam bahasa mereka sendiri.[18]

Pemikiran Panikar ini, hampir senada dengan apa yang disampaikan oleh Whitehead. Dalam pandangan Whitehead, dialog antaragama pertama-tama bertitik tolak dari pengalaman iman tiap-tiap individu di dalam komunitasnya masing-masing. Pengalaman iman masing-masing ini akan diperkaya dengan munculnya dialog dengan pribadi-pribadi dari komunitas yang berbeda keyakinan. Dialog ini tidak bertujuan untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah, tetapi untuk memperkaya pemahaman tentang nilai-nilai keagamaan masing-masing peserta dialog.

Dengan kata lain, dialog antaragama memang sangat dibutuhkan dan harus terus-menerus diupayakan di zaman ini. Hal ini juga disampaikan Hans Küng: “Setiap hari kita membutuhkan dialog dengan semua orang dari masing-masing agama, bertemu dan berdiskusi setiap hari, setiap jam di seluruh dunia dalam setiap situasi atau momen yang tepat.”[19] Dialog yang dimaksudkan oleh Hans Küng ini dapat dispesifikasikan dalam dua bentuk; Pertama, dialog eksternal, dialog yang dapat dimulai oleh mereka yang berada dalam satu jalan atau dalam satu desa, bekerja pada satu perusahaan atau di dalam satu universitas. Kedua, dialog internal, dialog yang terjadi di dalam diri kita, di dalam pikiran dan hati kita ketika kita bertemu atau berhadapan dengan “yang lain.”[20]

Dengan demikian, agama-agama yang ada harus menyadari bahwa keberlangsungan suatu agama sangat tergantung dari kesediaannya untuk berdialog dengan agama-agama lain dan dengan seluruh universum. Berhenti berdialog berarti kemandegan dan kematian bagi agama itu sendiri. Dalam berdialog harus ada keterbukaan, keterbukaan pada akhirnya membawa kita pada pemahaman yang mendalam terhadap kepercayaan agama lain. Karena itu, dialog antaragama harus terus dijalankan setiap hari, mulai dari diri kita, lingkungan kita dan semua orang yang kita jumpai, sehingga perdamaian yang kita impikan dapat terwujud.

Filsafat Agama Whitehead (Agama Rasional) a Way to Peace

Dari poin-poin di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa perdamaian dunia dapat diusahakan oleh manusia dan sarana yang dapat dilakukan manusia untuk menciptakan perdamaian dunia adalah lewat agama. Kenapa agama? Karena setiap agama membawa misi perdamaian bagi manusia dan seluruh alam semesta. Setiap agama pada dasarnya tidak mengajarkan kekerasan karena kekerasan bertentangan dengan cita-cita setiap manusia yang ada dalam agama, ingin hidup damai dalam dunia ini. Agar cita-cita ini dapat diwujudkan maka harus ada pemahaman yang benar tentang agama, pemahaman yang benar membutuhkan keterbukaan terhadap yang lain.

Karena setiap agama memiliki visi yang sama, menginginkan kehidupan yang damai, maka keharusan dialog antaragama wajib dijalankan. Dialog antaragama adalah solusi yang dapat ditempuh guna menumbuhkan pemahaman yang benar tentang agama kita dan agama orang lain. Pemahaman yang benar memungkinkan terciptanya perdamaian antaragama, dan kalau sudah tercipta perdamaian antaragama maka perdamaian dunia akan dapat diwujudkan.[21] Artinya, kita dapat mengatakan bahwa perdamaian dunia bisa diusahakan lewat agama, agama adalah (salah satu) sarana yang dapat dipakai untuk mewujudkan perdamaian dunia.

Dialog antaragama memang merupakan solusi yang dapat ditempuh guna menggapai perdamaian dunia. Tetapi dialog antaragama tak akan terjadi kalau tidak ada kesediaan dari setiap pemeluk agama untuk berdialog dengan yang lain. Dengan kata lain, harus ada pemahaman yang benar dahulu terhadap agama yang kita anut baru bisa berdialog dengan agama lain, begitu juga sebaliknya. Artinya, harus ada unsur tertentu dalam agama yang mampu menuntun setiap orang untuk berpikir demikian agar jalan menuju dialog antaragama dapat diwujudkan demi tercapainya cita-cita bersama. Unsur yang dimaksud adalah “rasional.” Dengan hadirnya unsur rasional dalam setiap agama maka pintu bagi dialog antaragama dapat diwujudkan karena setiap agama telah “menjadi agama rasional.”[22]

Menjadi agama rasional merupakan usaha yang harus diperjuangkan oleh setiap agama yang ada agar cita-cita bersama, mewujudkan perdamaian dunia dapat tercapai. Pertanyaan yang muncul dari pernyataan di atas adalah apa bedanya agama rasional dan agama-agama yang ada saat ini dan apakah agama-agama yang ada saat ini tidak mampu menciptakan perdamaian dunia? Jika pertanyaan ini diajukan pada Whitehead, maka ia akan menjawab bahwa yang membedakan agama rasional dengan agama-agama yang ada saat ini adalah penempatan rasionalisme[23] dalam agama.

Pada agama rasional, rasio yang dimaksud bukanlah rasio universal[24] tetapi pertimbangan rasional yang datang dari masing-masing individu dalam merefleksikan kembali ajaran-ajaran (dogma) agamanya, sedangkan pada agama-agama yang ada saat ini rasio universal-lah yang menuntun para pemeluk keagamaan. Menurutnya, agama yang memberikan tempat utama pada rasio (sebagai pendasaran pertimbangan rasional) adalah agama rasional. Inilah konsep filsafat agama Whitehead, agama rasional (rational religion). Whitehead mendefinisikan agama rasional sebagai agama yang kepercayaan-kepercayaan dan ritusnya diorganisir kembali dengan tujuan menjadikannya unsur sentral dalam pengaturan kehidupan yang koheren.[25]

Dengan adanya pertimbangan rasional dalam agama, maka kepercayaan-kepercayaan dan ritus dalam keagamaan dapat diorganisir ke dalam sebuah sistem yang koheren sehingga dapat memperoleh persetujuan etis. Ini tercapai jika setiap individu yang ada dalam agama berani menghadapi kesendiriannya dan tidak takut memiliki dan mempertanggungjawabkan iman yang dihayatinya. Dengan demikian, agama rasional adalah agama orang-orang yang berani menjadi soliter. Pada tahap ini, agama mengalami pergeseran makna dari agama yang bersifat kesukuan/sosial menjadi agama yang bersifat personal/soliter.

Dengan demikian, adanya pernyataan bahwa filsafat agama Whitehead (agama rasional) a way to peace, menurut penulis bukanlah hal yang berlebihan. Dalam agama rasional terdapat unsur-unsur yang memungkinkan terwujudnya dialog antaragama seperti yang telah dijelaskan di atas. Maka thesis Hans Küng yang meninggalkan pertanyaan bagi penulis bahwa agama seperti apa yang memungkinkan dialog antaragama akhirnya dapat dijawab.

Penutup
Kalau Hans Küng, dalam bukunya Global Responsibilty, mengatakan bahwa “tidak ada perdamaian dunia tanpa adanya perdamaian antara agama-agama dan tidak ada perdamaian antara agama-agama tanpa adanya dialog antaragama,” maka telah kita lihat bahwa bab ini ingin melanjutkan thesis itu karena masih ada pertanyaan yang “menggelitik.” Kalau dialog antaragama dapat menciptakan perdamaian antara agama-agama, maka agama seperti apakah yang dapat menciptakan dialog antaragama?

Dialog antaragama hanya mungkin terjadi kalau setiap agama yang ada mau berdialog dengan hati. Dialog antaragama mengandaikan adanya kesediaan masing-masing agama untuk menerima kenyataan bahwa agama yang satu berbeda dengan agama yang lain, ada keterbukaan dan kesadaran bahwa Allah yang satu, yang diimani dalam setiap agama hadir dan berdialog dengan segala sesuatu, karena itu Allah dapat ditemukan dalam setiap satuan aktual, masyarakat (budaya) dan juga dalam setiap agama. Artinya, pemahaman setiap agama tentang Allah hanyalah merupakan pengalaman satu sisi akan Allah. Implikasi dari pemikiran seperti ini menyebabkan munculnya kesadaran bahwa ajaran-ajaran (dogma) yang ada pada suatu agama memang mengandung kebenaran tetapi sekaligus juga terbatas, karena itu ajaran-ajaran (dogma) itu harus terbuka terhadap perubahan atau tantangan zaman. Ini merupakan buah dari adanya pertimbangan rasional yang datang dari masing-masing individu dalam merefleksikan kembali ajaran-ajaran (dogma) agamanya.

Agama rasional adalah agama yang terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan yang disebutkan di atas. Artinya, agama rasional adalah jalan yang dapat memungkinkan terciptanya dialog antaragama. Dengan kata lain, jawaban bagi pertanyaan, agama seperti apakah yang dapat menciptakan adanya dialog antaragama adalah agama rasional. Akhirnya, “tidak ada perdamaian dunia tanpa adanya perdamaian antara agama-agama, tidak ada perdamaian antara agama-agama tanpa adanya dialog antaragama dan tidak ada dialog antaragama kalau setiap agama yang ada belum mampu menjadi agama rasional.”


Catatan:
[1] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (Tim Penyusun)., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, hal, 207
[2] Yohanes Paulus II., Membangun Perdamaian Menghormati Minoritas: Pesan Sri Paus Yohanes II pada Perayaan Hari Perdamaian seDunia 1 Januari 1989, dalam Seri Dokumen Gerejani no. 4, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1988, hal. 5
[3] Whitehead, Alfred North., Adventures of Ideas, New York: The New American Library, 1958, hal. 240-294. Lihat juga: Sudarminta, J., Filsafat Proses (Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Proses Alfred North Whitehead), Yogyakarta: Kanisius 1991, hal. 94-100. Kelima ciri itu adalah: (1) Kebenaran (truth), kesesuaian antara penampilan luar dengan kenyataan (truth is the conformation of Appearance and Reality), (2) keindahan (beauty), saling penyesuaian beberapa faktor dalam suatu kejadian pengalaman (beauty is the mutual adaptation of the several factors in an occasion of experience), (3) seni (art), usaha untuk secara sengaja menyesuaikan apa yang tampak dengan kenyataan (art is purposeful adaptation of Appearance to Reality), (4) petualangan (adventure), petualangan penting karena menurut Whitehead, “kemajuan atau kemunduran hanyalah dua kemungkinan yang ditawarkan pada umat manusia. Sikap konservatif murni itu sama saja dengan memerangi hakikat alam semesta” (Advance or Decadence are the only choices offered to mankind. The pure conservative is fighting against the essence of the universe), (5) kedamaian batin (peace)
[4] Ibid, Whitehead, Alfred North., Adventures of ideas, hal. 283 (in a way seeking for the notion of Harmony of Harmonies, which shall bind together the other four qualities, so as to exclude from our notion of civilization the restless egotism with which they have often in fact been pursued). Lihat juga: Sudarminta, J., Filsafat Proses., hal. 98-99
[5] Ibid, Sudarminta, J., Filsafat Proses., hal. 99
[6] Yang dimaksud penulis dengan agama-agama besar adalah agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Khatolik, Hindu, dan Budha
[7] Whitehead, Alfred North., Religion in the Making, 1974, hal. 96 (God is the measure of the aesthetic consistency of the world). Lihat Juga: Sudarminta, J., Filsafat Proses., hal. 93
[8] Whitehead, Alfred North., Religion in the Making, 1974, hal. 15 (Your character is developed according to your faith)
[9] Ibid, Religion in the Making, hal. 15 (Religion is force of belief cleansing the inward parts). Lihat juga: Sudarminta, J., Filsafat Proses, hal. 90
[10] Panikkar, Raimon., Cultural Disarmament (The Way to Peace), Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 1995, hal. 22 (Religion is a way to peace). Ini adalah satu dari sembilan poin perdamaian pada sūtras (nine sūtras on peace) yang dikutip dan dijelaskan oleh Panikkar
[11] Küng, Hans., Global Responsibility: In Search of a new World Ethic, New York: The Crossroad Publishing Company, 1991, hal. XV, 76, 107, dan 138 (No world peace without peace between the religions. No peace between the religions without dialogue between the religions)
[12] Cahyadi, Telesphorus Krispurwana., Dialog Antaragama dan Tantangan bagi Perdamaian Dunia serta Keadilan, dalam Diskursus, Vol. 6, No. 1, April 2007, Jakarta: STF Driyarkara, 2007, hal. 87. Pernyataan Yohanes Paulus II ini sejalan dengan pernyataan Whitehead di atas bahwa perubahan hati (baca: pertobatan dan perubahan watak dari yang buruk ke baik) dapat dihasilkan dari agama
[13] Ibid, hal. 89-90
[14] Kleden, Paulus Budi., Dialog Antaragama dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead, Maumere: Seminari Tinggi Ledalero, 2002, hal. 182
[15] Pembahasan mengenai syarat-syarat bagi terwujudnya dialog antaragama dalam pemikiran Whitehead didasarkan pada buku: Kleden, Paulus Budi., Ibid, hal. 182-189
[16] Panikkar, Raimundo., Dialog Intrareligius (ed: Dr. A. Sudiarjo), Yogyakarta: Kanisius, 1994, hal. 80. (Raimundo Panikkar tidak menggunakan istilah “dialog antaragama” atau “dialog interreligius,” ia lebih condong menggunakan istilah “dialog intrareligius.“ Menurutnya, “dialog antaragama” sepertinya merupakan suatu perintah religius dan kewajiban historis terhadap mana kita harus siap sedia, karena itu “dialog antaragama” akan menjadi dialog yang sesungguhnya, maka suatu “dialog intrareligius” harus menyertainya. Artinya, dialog harus mulai dengan mempertanyakan diri saya sendiri dan relativitas kepercayaan-kepercayaan saya)
[17] Ibid
[18] Ibid, hal. 33
[19] Küng, Hans., Global Responsibility: In Search of a new World Ethic, New York: The Crossroad Publishing Company, 1991, hal. 138 (We need everyday dialogue of all the people of different religions who meet and discuss daily and hourly all over the world on all possible occasions)
[20] Yang dimaksud dengan “yang lain” di sini adalah orang-orang yang beragama lain atau juga buku-buku (Kitab Suci) agama lain
[21] Pernyataan ini berangkat dari pemahaman penulis terhadap thesis Hans Küng yang telah dipaparkan di atas
[22] Menjadi agama rasional bukan berarti bahwa pada akhirnya setiap agama melebur menjadi satu agama, tetapi bahwa dalam setiap agama unsur ‘rasional’ kemudian mendapat tempat sentral dan mulai memainkan perannya. Inilah yang menyebabkan suatu agama bisa disebut sebagai agama rasional
[23] Rasionalisme bukan sebagai aliran filsafat yang menempatkan rasio sebagai satu-satunya kriterium kebenaran, melainkan sebagai tahap masuknya pertimbangn rasional di dalam hal beragama. Lihat: Kleden, Paulus Budi., Dialog Antaragama dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead, Maumere: Seminari Tinggi Ledalero, 2002, hal. 141
[24] Pertimbangan rasional yang datang dari orang-orang tertentu (para pemimpin agamawan) dan kemudian dilaksanakan oleh para pemeluk agama tanpa menyangsikan kebenarannya (tidak ada sifat kritis)
[25] Whitehead, Alfred North., Religion in the Making, 1974, hal. 30 (Rational religion is religion whose beliefs and rituals have been reorganized with the aim of making it the central element in a coherent ordering of life)

2 komentar:

coretan tinta mengatakan...

postingan yang luar biasa

Unknown mengatakan...

bolavita Agen Judi Bola Casino Baccarat Poker Togel QiuQiu online terpercaya dan terbesar di Indonesia, untuk pembukaan account semua jenis judi online

Boss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )

Posting Komentar