Desember 20, 2012

PEPERA 1969 (ACT OF FREE CHOICE) DAN KONSEKUENSI POLITIK BAGI NKRI SAAT INI

PENGANTAR
Sejarah integrasi Irian Jaya (selanjutnya ditulis Papua) ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga saat ini meninggalkan persoalan yang menyebabkan pincangnya hubungan antara pemerintah pusat dan Papua.
Walaupun pemerintah pusat mengangap bahwa persoalan integrasi Papua ke dalam NKRI sudah final dan sah secara hukum internasional (lewat Pepera 1969) dan dikukuhkan dengan Resolusi PBB Nomor 2504 atas pelaksanaan Pepera di Irian Barat, namun kita tidak dapat menutup mata terhadap berbagai reaksi dan tuntutan pemisahan diri dari masyarakat Papua yang menganggap bahwa Pepera 1969 adalah proyek rekayasa PBB yang melibatkan beberapa negara anggotanya seperti Amerika, Belanda, dan Australia. Artinya, pemerintah pusat mau tidak mau harus membuka mata dan melihat apa yang salah dengan proses integrasi tersebut sehingga sampai saat ini masyarakat Papua masih menuntut pemisahan diri dari NKRI. Inilah yang dimaksud penulis dengan konsekuensi politik dari Pepera 1969 yang harus disikapi secara dewasa oleh pemerintah pusat untuk mencari solusi dan jalan keluar yang terbaik guna menyelesaikan tunttan politik pemisahan diri Papua dari NKRI. Untuk itu pembahasan dalam makalah singkat ini akan difokuskan pada beberapa hal di bawah ini:
  • Proses pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera 1969) di Papua sebagai akar persoalan yang hingga saat ini menimbulkan gejolak politik yang tidak pernah pudar di Papua;
  • Bagaimana masyarakat Papua menyikapi hasil Pepera 1969 dalam konteks kekinian (saat ini);
  • Sikap dan pandangan pemerintah pusat terhadap hasil Pepera 1969;
  • Konsekuensi politik yang timbul dewasa ini akibat cara pandang yang berbeda antara Papua dan pemerintah pusat dalam menyikapi hasil Pepera 1969;
  • Tawaran guna menyikapi untutan politik pemisahan diri Papua dari NKRI.

SEKILAS TENTANG PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT (PEPERA) 1969 DI PAPUA

Pembentukan Dewan Musyawarah Pepera (DMP)
Sesuai dengan amanat New York Agreement yang mengamanatkan agar pelaksanaan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua harus dilaksanakan sebelum tahun 1969,[1] maka pada tanggal 22 Agustus 1968, Sekretaris Jenderal PBB mengutus seorang wakilnya ke Irian Barat untuk merealisasikan apa yang tertuang dalam Pasal XX New York Agreement tersebut.
Dr. Fernando Ortiz Sans adalah seorang Duta besar dari Bolivia yang diutus oleh Sekjen PBB setahun sebelum pelaksanaan PEPERA guna mempersiapkan dan mengatur jalannya proses tersebut. Alhasil, persiapan pengambilan data, pendataan dan perlengkapan lainnya seperti tata cara Pepera mulai dilaksanakan pada tahun 1968.
Salah satu persiapan yang dilakukan menjelang pelaksanaan Pepera adalah pembentukan Dewan Musyawarah Pepera (DMP). Untuk itu, maka konsultasi musyawarah dilakukan Indonesia antara Pemerintah Komando Proyek XII Irian Barat yang dijabat oleh Frans Kaisepo[2] menghasilkan beberapa kesepakatan sebagai berikut: [3] 
  • Pelaksanaan Pepera dengan cara demokratis musyawarah/demokrasi Indonesia;
  • Pelaksanaan Pepera di tiap Kabupaten yang ada di Propinsi Irian Barat;
  • Untuk penyelenggaraan Pepera di tiap Kabupaten dibentuk Dewan Musyawarah Pepera yang merupakan wakil dari seluruh Kabupaten;
  • Besarnya Dewan Musyawarah Pepera sebanding dengan banyaknya penduduk di tiap-tiap Kabupaten.
Pada saat itu, penduduk Irian diperkirakan berjumlah 800.000 jiwa, maka setiap 750 jiwa memiliki 1 wakil dalam Dewan Musyawarah Pepera tersebut. Berikut jumlah anggota Dewan Musyawarah Pepera dari tiap-tiap Kabupaten:
  • Kabupaten Jayapura: Jumlah penduduk 81.246 jiwa – jumlah wakil 110; 
  • Kabupaten Teluk Cenderawasih: Jumlah penduduk 93.230 – jumlah wakil 130; 
  • Kabupaten Manokwari: Jumlah penduduk 53.290 – jumlah wakil 75; 
  • Kabupaten Sorong: Jumlah penduduk 86.840 – jumlah wakil 110; 
  • Kabupaten Fakfak: Jumlah penduduk 38.917 – jumlah wakil 75; 
  • Kabupaten merauke: Jumlah penduduk 141.373 – jumlah wakil 175; 
  • Kabupaten Paniai: Jumlah penduduk 156.000 – jumlah wakil 175; 
  • Kabupaten Jayawijaya: Jumlah penduduk 165.000 – jumlah wakil 175.
Dari perwakilan di atas maka didapatlah 1025 orang Anggota Dewan Musyawarah Pepera yang akan ikut menentukan nasib Irian Barat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Setelah DMP dibentuk, maka DMP kemudian mengadakan musyawarah untuk menentukan pilihan, apakah akan bergabung bersama indonesia atau ingin memisahkan diri dari Indonesia.

Pelaksanaan PEPERA dan Hasilnya
Puncak pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat atau PEPERA (act of free choice) dilakukan secara maraton di 8 (delapan) Kabupaten di Irian Barat. Pertama sekali Pepera dilaksanakan di Kabupaten Merauke berturut-turut Pepera dilaksanakan menurut jenjang waktu yang sudah ditetapkan di bawah ini:
  • Di Kabupaten Merauke, tanggal 14 Juli 1969; 
  • Di Kabupaten Jayawijaya, tanggal 16 Juli 1969; 
  • Di Kabupaten  Nabire (Paniai), tanggal 19 Juli 1969; 
  • Di Kabupaten Fakfak, tanggal 23 Juli 1969; 
  • Di Kabupaten Sorong, tanggal 26 Juli 1969;
  • Di Kabupaten Manokwari, tanggal 29 Juli 1969; 
  • Di Kabupaten Biak (Teluk Cenderawasih), tanggal 31 Juli 1969; 
  • Di Jayapura, tanggal 2 Agustus 1969.
Dalam pelaksanaannya Musyawarah PEPERA di tiap kabupaten dihadiri oleh Ketua dan para anggota DMP, Menteri Dalam Negeri/Ketua Perutusan Pemerintah Pusat, Menteri Luar Negeri, Utusan Sekretaris Jenderal PBB dipimpin oleh Duta Besar Ortiz Sanz, beberapa Duta Besar Negara-Negara sahabat, wartawan-wartawan dalam dan luar Negeri, serta Para Peninjau.
            Pelaksanaan Pepera pertama kali di Kabupaten Merauke (14 Juli 1969) dengan pertemuan 175 anggota DMP. Selain Ortiz Sans dan timnya, hadir juga sejumlah politisi dan militer Indonesia dan sejumlah duta desar negara sahabat. Dalam pelaksanaan Pepera sejumlah 26 Anggota DMP berdiri satu persatu dan menyampaikan pernyataan dengan menegaskan bahwa mereka menganggap diri mereka telah menjadi bagian dari Indonesia sejak tahun 1945. Mereka mengakui satu negara, satu konstitusi, satu bendera, dan satu pemerintah yaitu Indonesia.[4]
Hasilnya Pepera yang dilangsungkan di 8 (delapan) Kabupaten tersebut, semuanya memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia. Hasil tersebut disepakati dan disetujui dengan membubuhkan tanda tangan semua yang hadir dalam rapat Pepera tersebut. Hasil Pepera ini diumumkan pada tanggal 2 Agustus 1969 dan selanjutnya pada tanggal 8 Agustus 1969 Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Amir Machmud selaku Ketua Pelaksana Pepera melaporkan kepada Presiden. Lalu pada tanggal 16 Agustus 1969, Presiden menyampaikan sebagai laporan pertanggungjawaban tahunan di depan sidang MPR.
            Selanjutnya pada tanggal 19 Novvember 1969, dalam Sidang Umum PBB, dilakukan pembahasan tentang pelaksanaan pekerjaan yang diberikan kepada Sekjen PBB tentang pelaksanaan Pepera di Irian Barat. Berdasarkan hasil pembahasan tersebut 6 negara mengusulkan untuk mengeluarkan Resolusi Nomor 2504 atas pelaksanaan Pepera di Irian Barat. Akhirnya, resolusi tersebut diterima oleh Majelis Umum PBB dengan imbangan suara 84 Setuju, tidak ada yang menentang dan 30 abstain. Dengan demikian seluruh proses Pelaksanaan Pepera di Irian Barat dinyatakan sah. Dengan kata lain masyarakat internasional menerima hasil Pepera yang memutuskan bergabungnya Irian  Barat dalam NKRI.

PEPERA 1969 DALAM PANDANGAN MASYARAKAT PAPUA
Walaupun Proses Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 berlangsung sukses dan berhasil mengembalikan Papua ke dalam pangkuan NKRI, namun dalam pandangan rakyat Papua Pepera meninggalkan berbagai persoalan krusial yang hingga saat ini terus disuarakan oleh tokoh-tokoh Papua baik secara terang-terangan maupun secara separatis di hutan-hutan (Perjuangan Organisasi Papua Merdeka) karena tidak puas dengan proses pelaksanaan Pepera. Adapun berbagai persoalan yang mendasari ketidakpuasan tokoh-tokoh Papua tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:[5]
  • Papua telah menjadi Negara berdaulat sebelum diserahkan oleh UNTEA ke Indonesia pada 1 Mei 1963. Kedaulatan Papua itu ditandai dengan dibentuknya Nieuw Guinea Raad (Dewan Papua) pada tanggal 25 Februari 1961 dan mulai bekerja pada tanggal 5 April 1961. NGR ini kemudian berkembang menjadi Komite Nasional Papua pada Oktober 1961 denggan 70 orang kaum terdidik Papua dan berhasil merumuskan Manifesto negara Papua yang isinya: (a) menentukan nama negara: Negara Papua; (b) Menentukan lagu kebangsaan Papua: Hai Tanahku Papua; (c) Menentukan bendera nasional Papua: Bintang Kejora. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan Pendeklarasian kemerdekaan Papua pada tanggal 1 Desember 1961 atas persetujuan Pemerintah Belanda;
  • New York Agreement yang menjadi dasar dilaksanakannya Pepera 1969 merupakan perjanjian  atau persetujuan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun moral, karena dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat;
  • Pasal XXII ayat 1 New York Agreement dengan jelas mengatur hak-hak bangsa Papua untuk bebas berbicara, bergerak, berkumpul, dan bersidang.[6] Hak-hak ini dipasung dan dimatikan sehingga tidak pernah dapat dilaksanakan oleh bangsa Papua. Semua organisasi sosial dan politik dibubarkan dan dilarang untuk melakukan aktivitas-aktivitasnya (termasuk NGR) oleh Pemerintah Indonesia;
  • Pelaksanaan Pepera juga dipersoalkan karena dianggap tidak sesuai dengan ketentuan New York Agreement, khususnya Pasal XVIII[7] yang mensyaratkan pemilihan dilakukan sesuai dengan kebiasaan internasional (accordance with international practice). Ketentuan ini bagi tokoh-tokoh Papua harus dilaksanakan dengan metode one man one vote bukan dengan metode delegasi perwakilan yang dalam proses pemilihannya juga dinilai bermasalah dan dibawah doktrinisasi. Sistem delegasi perwakilan dilihat bukan cara penentuan nasib sendiri yang lazim secara internasional, maka Pepera dilihat penuh manipulasi dan intimidasi karena dari 1026 yang mewakili seluruh masyarakat Papua, hanya 175 orang yang boleh bersuara.

PEPERA 1969 DALAM PANDANGAN PEMERINTAH PUSAT
            Berbeda dengan perspektif masyarakat Papua dalam melihat hasil Pepera 1969, pemerintah pusat menilai bahwa hasil Pepera 1969 menunjukkan bahwa Papua adalah wilayah Indonesia yang sah. Hal ini diyakini oleh Indonesia dengan alasan bahwa wilayah negara Indonesia adalah seluruh wilayah bekas negara Hindia Belanda. Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia (hlm. 332) menyatakan bahwa Papua adalah wilayah Indonesia.[8] Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Papua adalah bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia karena itu satu-satunya yang berdaulat di Papua adalah Indonesia. Implikasinya adalah tidak boleh ada pemerintahan atau kekuasaan lain politik lainnya Papua. Dengan demikian jelaslah bahwa kalau ada upaya-upaya lain atau kepentingan politik lain yang mempersoalkan keabsahan Pepera 1969 maka mereka akan disebut sebagai separatis dan harus ditumpas.
            Selain melihat bahwa Papua adalah wilayah Indonesia yang sah, pemerintah pusat juga melihat bahwa pelaksanaan Pepera 1969 sesuai dengan New York Agreement 15 Austus 1962 dan sah. Menurut pemerintah pusat, proses pelaksanaan Pepera berjalan dengan lancar dan rakyat Papua telah menentukan pendapatnya dengan cara memilih tetap dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian tidak ada lagi keraguan dari pihak manapun bahwa Papua memang bagian dari Indonesia, hal ini dapat dilihat dari hasil Pepera yang dilaksanakan berdasarkan proses demokratis sesuai dengan amanat dalam New York Agreement 15 Austus 1962.
           
KONSEKUENSI POLITIK YANG TIMBUL DEWASA INI AKIBAT CARA PANDANG YANG BERBEDA ANTARA PAPUA DAN PEMERINTAH PUSAT DALAM MENYIKAPI HASIL PEPERA 1969
            Berangkat dari dua cara pandang yang berbeda dalam melihat hasil proses pelaksanaan dan hasil Pepera 1969, maka saya sependapat dengan pandangan beberapa pengamat masalah Papua yang mengatakan bahwa sejak Pepera 1969 sampai saat ini Papua tetap mejadi masalah politik baik dalam skala internasional maupun skala nasional. Kita bisa lihat bahwa sampai saat ini Gerakan Papua Merdeka yang menamakan dirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang bergerak secara gerilya di hutan-hutan Papua masih tetap eksis. Selain  OPM, perjuangan pemisahan diri dari NKRI pun saat ini dilakukan secara terang-terangan dengan memilih jalan damai yang dilakukan oleh Presidium Dewan Papua (PDP) yang dipimpin oleh almarhun Theys H Eluay sejak tahun 2000 hingga saat ini. Bukan hanya itu, saat ini Jaringan Damai Papua (JDP) yang dipimpin oleh Pater Neles Tebay tengah memperjuangkan aspirasi masyarakat Papua lewat upaya Dialog Damai dengan pemerintah Pusat.
            Lalu apa yang dapat kita petik dari persoalan di atas? Inilah yang oleh penulis disebut sebagai konsekuensi politik dari Pepera 1969 yang harus disikapi secara dewasa oleh pemerintah pusat. Memang harus diakui bahwa secara hukum nasional dan hukum internasional proses integrasi Papua ke dalam NKRI adalah sah, namun sekali lagi kita (baca: pemerintah pusat) tidak dapat menutup mata bahwa tidak ada persoalan di tanah Papua yang muncul akibat adanya Pepera 1969. Dengan kata lain, kalau pemerintah pusat tetap kokoh pada pandangan bahwa Pepera 1969 sah dan tidak bisa diganggu gugat maka persoalannya adalah kenapa tuntutan pemisahan diri dari masyarakat Papua masih tetap ada? Memang berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah pusat dengan mengeluarkan berbagai regulasi untuk meredam tuntutan tersebut. Namun kita bisa bahwa berbagai upaya yang dilakukan, termasuk pemberian Otonomi Khusus bagi Papua lewat UU No 21 Tahun 2001 dan terakhir pembentukan UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat) juga tidak menyelesaikan persoalan. Kalau ini tidak cepat disikapi maka konsekuensi politiknya adalah akan terjadi terus pelanggaran HAM di tanah Papua karena operasi-operasi militer di tanah Papua tidak akan pernah berhenti selama gerakan-gerakan yang menuntut pemisahan diri dari NKRI masih eksis.

PENUTUP: TAWARAN GUNA MENYIKAPI TUNTUTAN POLITIK PEMISAHAN DIRI PAPUA DARI NKRI
            Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), setidaknya ada 4 faktor utama sumber konflik di Papua yaitu: (1) Sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua, (2) Kekerasan politik dan pelanggaran HAM, (3) Kegagalan Pembangunan, dan (4) Inkonsistensi pemerintah pusat dalam implementasi Otonomi Khusus dan marginalisasi orang Papua.[9]
            Keempat faktor sumber konflik di Papua tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena keempat faktor tersebut memiliki hubungan yang inheren, dimana tidak tuntasnya penyelesaian persoalan integrasi Papua ke dalam NKRI seperti dijelaskan di atas menyebabkan munculnya kekerasan politik dan pelanggaran HAM, akibatnya semua proyek pembangunan di Papua tidak dapat dilaksnakan sesuai dengan program yang telah ditentukan. Dampak dari semua itu menyebabkan kecurigaan yang tak berujung dari pemerintah pusat kepada Papua sehingga implementasi Otsus di Papua juga berjalan setengah hati.
            Dengan demikian maka menurut penulis persoalan mendasar di Papua harus diselesaikan dari akarnya, yaitu pemerintah pusat harus mau duduk bersama dengan masyarakat Papua untuk berdialog secara damai dari hati ke hati guna mencari solusi guna menyelesaikan dua cara pandang yang berbeda tentang sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI. Mengapa diperlukan dialog? Dialog dibutuhkan untuk mencairkan suasana dan mengakhiri konflik, baik dalam bentuk perang terbuka maupun perang terselubung secara politik. Dengan kata lain dialog menutup tahap konflik dan membuka tahap baru paska konflik. Dalam konteks konflik separatisme, dialog merangkul kembali para separatis menjadi warga negara dengan haknya yang penuh dan mengoreksi pemerintah pusat agar memasuki babak baru yang lebih adil bagi seluruh masyarakat.[10] Inilah salah satu jalan yang dapat ditempuh pemerintah untuk keluar dari konflik politik yang terjadi di Papua karena cara pandang yang berbeda dalam melihat Pepera 1969.
            Akhirnya penulis hendak menyampaikan bahwa persoalan di Papua bukan persoalan kesejahteraan, bukan persoalan banyaknya uang yang dikucurkan, tetapi lebih dari itu, persoalan mendasar di Papua adalah persoalan politik sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI. Karena itu penyelesaiannya pun harus lewat jalan politik dan bukan dengan cara meningkatkan kesejahteraan. Karena itu sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah tidak boleh menutup mata dalam melihat gejolak politik yang sejak Pepera 1969 hingga saat ini terus bergolak di Papua. Ini harus diselesaikan karena kalau tidak maka konsekuensi politiknya bisa jadi Papua lepas dari Indonesia karena dengan adanya kekerasan-kekerasan politik dengan pendekatan militer dalam penyelesaian persoalan Papua maka pelanggaran HAM akan terus terjadi di Papua. Kalau pelanggaran HAM terus terjadi, maka tidak mungkin dunia internasional akan melihat Papua sebagai persoalan internasional dan dampaknya bisa merugikan NKRI.


Catatan:

[1] Lihat: Draft New York Agreement, Article XX. (The act of self-determination will be completed before the end of 1969)
[2] Frans Kaisepo pada tahun 1968 ditunjuk sebagai Kepala Pemerintahan Komando Proyek XII Irian barat dalam rangka pelaksanaan kegiatan Pepera.
[3] Lihat: Decki Natalis Pigay, evolusi Nasionalisme dan Sejarah: Konflik Politik di Papua, Jakarta: PT Dinamika Daya Andalan, 2000, hlm. 278.
[4] Rahmat Siregar, Gerakan sosial Baru: PDP dan Gerakan sosial Baru Pasca Jatuhnya Rezim Orde baru 1998 di Papua, Jakarta: Tesis Fisip-UI, 2004. Hlm. 69.
[5] Untuk jelasnya silahkan lihat: Amiruddin al Rahab, Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme, Jakarta: Komunitas Bambu, 2010, hlm. 162-163.
[6] Lihat: New York Agreement, Pasal XXII ayat 1:  The UNTEA and Indonesia will guarantee fully the rights, including the rights of free speech, freedom of movement and of assembly, of the inhabitants of the area. These rights will include the existing rights of the inhabitants of the territory at the nine of the transfer of administration to the UNTEA.
[7] Ibid., Article XVIII: Indonesia will make arrangements, with the assistance and participation of the United Nation Representative and his staff, to give the people of the territory the opportunity to exercise freedom of choice. Such arrangements will include:
a.   Consultations (Musyawarah) with the representative councils on procedures l and appropriate methods to be followed for ascertaining the freely expressed will of the population;
b.   The determination of the actual date of the exercise of free choice within the period established by the present Agreement;
c.    Formulation of the questions in such a way as to permit the inhabitants to decide (a) whether they wish to remain with Indonesia; or (b) whether they wish to sever their ties with Indonesia;
d.  The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals, to participate in the act of self-determination to be carried out in accordance with international practice, who are resident at the time of the signing of the present Agreement and at the time of the act of self-determination, including those residents who departed after 1945 and who return to the territory to resume residence after the termination of Netherlands administration.
[8] lihat: Amiruddin al Rahab, Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme, Jakarta: Komunitas Bambu, 2010, hlm. 163. (Nugroho Notosusanto mengatakan: Pembebasan Irian Jaya merupakan suatu tuntutan nasional yang didukung oleh semua partai politik dan semua golongan. Tuntutan itu didasarkan atas Pembukaan UUD 1945, yaitu “untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi selutuh tumpah darah Indonesia….. [Sedangkan Papua adalah baian mutlak daripada tumpah darah Indonesia].
[9] Lihat: Muridan S. Widjojo, dkk, Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future, Jakarta: LIPI, Yayasan TIFA, dan Yayasan Obor Indonesia, 2009, hlm. 7.
[10] Ibid., hlm. 152.





SUMBER:
  1. Al Rahab, Amirrudin, Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme, Jakarta: Komunitas Bambu, Januari 2010;
  2. Feith, Herbert dan Castles, Lance (Editor), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta: LP3ES, 1998;
  3. Gaffar, Afan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Februari 2000;
  4. Pigay, Decki Natalis, evolusi Nasionalisme dan Sejarah: Konflik Politik di Papua, Jakarta: PT Dinamika Daya Andalan, 2000;
  5. Siregar, Rahmat, Gerakan sosial Baru: PDP dan Gerakan sosial Baru Pasca Jatuhnya Rezim Orde baru 1998 di Papua, Jakarta: Tesis Fisip-UI, 2004;
  6. Widjojo, Muridan S., dkk, Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future, Jakarta: LIPI, Yayasan TIFA, dan Yayasan Obor Indonesia, 2009;
  7. Draft New York Agreement, 15 Agustus 1962.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

bolavita Agen Judi Bola Casino Baccarat Poker Togel QiuQiu online terpercaya dan terbesar di Indonesia, untuk pembukaan account semua jenis judi online

Boss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )

Posting Komentar