Maret 30, 2011

PROSES NEGOSIASI PERDAMAIAN ACEH:

Mencari Keadilan di Helsinki dan Mengimplementasikannya di Aceh[1]

Oleh Raimondus Arwalembun

Perdamaian di Aceh memang dimulai sejak ditandatanganinya MoU Helsinki,
tetapi apakah ini merupakan perdamaian yang permanen? Tentu tidak,
sebagai langkah awal menuju perdamaian, iya. Namun menuju perdamaian yang permanen di Aceh, masih dalam proses. Perdamaian permanen di Aceh akan
terwujud kalau, pertama, ada klasifikasi pelanggaran HAM dan
diselesaikan secara hukum; kedua, semua yang menjadi objek konflik harus dipertimbangkan. Artinya, perdamaian permanen di Aceh sangat tergantung pada “bagaimana memberikan keadilan (justice) bagi korban.”
Inilah hal yang paling penting yang harus dipikirkan dan diberikan oleh
Pemerintah RI. Dengan demikian perdamaian di Aceh benar-benar akan terwujud kalau korban ikut mendapat keadilan[2]


I.       PENGANTAR

Tiga (3) tahun sudah perdamaian di Aceh berjalan, tiga tahun sudah hasil kesepakatan damai (MoU Helsinki yang dituangkan dalam UUPA) antara Pemerintah RI dan GAM diimplementasikan. Ini tentu sebuah prestasi yang membanggakan karena semua pihak dapat menahan diri dan bersama-sama berkomitmen untuk menjaga perdamaian di Aceh. Di satu sisi, perdamian di Aceh memang berjalan dengan baik, walaupun selama tiga tahun ini di beberapa tempat seringkali terjadi berbagai keributan yang dapat digolongkan sebagai tindakan kriminal. Di sisi lain, perdamaian di Aceh saat ini dianggap belum maksimal. Kutipan di atas sesungguhnya menunjukkan kepada kita bahwa ada beberapa pihak (khususnya korban) yang sampai saat ini merasa belum mendapatkan keadilan dari proses perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh. Pertanyaannya adalah, dimanakah kedudukan keadilan dalam keseluruhan proses perdamaian di Aceh?
          Perdamaian memang penting, karena itu harus tetap dijaga. Namun harus diingat bahwa perdamaian itu tidak akan bertahan terus selamanya kalau tidak disertai dengan upaya mewujudkan keadilan di dalamnya. Perlahan namun pasti, Aceh telah menunjukkan kepada dunia bahwa perdamaian di bumi Serambi Mekkah dapat terwujud. Namun muncul pertanyaan, apakah perdamaian di Aceh sungguh-sungguh sudah memuaskan masyarakat Aceh? Dengan kata lain, apakah perdamaian yang terjadi di Aceh berjalan beriringan dengan penegakan keadilan bagi mereka yang menjadi korban konflik antara pihak GAM dan Pemerintah RI? Atau dengan kata lain apakah agenda hak asasi manusia seperti pengungkapan kebenaran (lewat KKR) dan mengadili para pelaku pelanggaran HAM masa lalu (lewat Pengadilan HAM) sudah diimplementasikan? Ataukah demi menjaga perdamaian maka penegakan keadilan harus dikorbankan?
Agenda hak asasi manusia yang termaktub dalam MoU Helsinki dan kemudian dimanifestasikan dalam UUPA tentu merupakan sebuah langkah maju dalam keseluruhan proses negosiasi damai yang pernah berlangsung di Aceh. Karena itu paper ini hendak melihat bagaimana proses munculnya nilai-nilai keadilan dalam MoU Helsinki dan bagaimana proses implementasinya di lapangan.

Tujuan Penulisan

Konflik di Aceh akhirnya berhenti sejak ditandatanganinya perjanjian damai (MoU Helsinki) antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki. MoU Helsinki tentu bukan satu-satunya perjanjian perdamaian yang pernah ditandatangani oleh Pemerintah RI dan GAM. Pada 12 Mei 2002, difasilitasi oleh Henry Dunant Center (HDC) sebagai mediator, perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM ditandatangani, perjanjian ini dikenal dengan nama Kesepakatan Jeda Kemanusiaan (humanitarian pause). Perjanjian ini tidak bertahan lama[3] karena dalam prakteknya, pemerintah daerah, pihak kepolisian daerah, organisasi masyarakat sipil, institusi keagamaan dan tokoh masyarakat tidak terlibat dalam pelaksanaan Jeda Kemanusiaan ini.[4] Perjanjian damai kedua kembali terjadi ketika Henry Dunant Center (HDC) sekali lagi menjadi mediator, kedua pihak kembali menandatangani Kesepakatan Penghentian Permusuhan (The Cessation of Hostilities Agreement / CoHA) pada tanggal 09 Desember 2002 di Geneva, Swiss. Namun hal yang sama kembali terulang, perjanjian ini gagal dijalankan, kedua pihak belum saling percaya dan belum sepenuhnya bersedia menjalankan isi CoHA. Mungkinkah salah satu faktor gagalnya perjanjian ini adalah karena ketidakterlibatan masyarakat sipil dalam proses perundingan dan perumusan butir kesepakatan?[5] Kalau ini benar maka kesalahan yang sama kembali diulang.
Berbeda dengan kedua perjanjian di atas, MoU Helsinki sampai saat ini dapat dikatakan berhasil karena sudah 3 tahun proses perdamaian di Aceh dapat dijaga walaupun ada tuntutan dan keluhan bahwa belum sepenuhnya keseluruhan isi perjanjian (MoU) dilaksanakan. Karena itu menarik untuk melihat apa saja yang terjadi ketika proses negosiasi sedang berlangsung, dan kemudian diakhiri dengan penandatangan MoU. Studi ini menjadi penting karena dengan mempelajari proses negosiasi yang terjadi, maka kita dapat memberikan rekomendasi agar kesalahan-kesalahan yang sama dalam dua perjanjian sebelumnya yang kembali terjadi pada MoU, dapat dicari pemecahannya agar proses perdamaian yang berkelanjutan di Aceh
dapat terus dijaga dan ditingkatkan.
Penelitian ini bermaksud untuk merekam dan mempelajari berbagai pengalaman kebijakan yang relevan demi masa depan. Secara khusus, penelitian ini hendak mencari tahu apa yang terjadi di balik suksesnya penandatanganan MoU Helsinki: apa yang terjadi selama proses negosiasi, bagaimana isu-isu keadilan (agenda hak asasi manusia) dibahas. Termasuk di dalamnya pertanyaan tentang amnesti, atau proposal untuk Pengadilan, penyingkapan kebenaran, reparasi, atau keadilan yang berorientasi pada tanggung jawab negara (State Social Responsibility). Apakah ada kehadiran civil society nasional dan internasional, atau partisipan dari internasional seperti duta besar yang bertindak sebagai saksi. Apakah ada faktor-faktor lain? Bagaimana unsur-unsur ini diimplementasikan dalam penandatanganan suatu persetujuan? Apakah perjanjian damai ini (MoU) berdampak pada peristiwa kekerasan yang terjadi di Aceh?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas maka kami (tim peneliti) berusaha mengajak bicara (mewawancarai) semua pihak yang terlibat langsung dalam perjanjian damai, termasuk mediator, perwakilan civil society, pihak-pihak yang berkonflik, para saksi, atau partisipan-partisipan. Penelitian ini juga berusaha untuk melibatkan berbagai pihak yang tidak terlibat langsung, tetapi terus mengikuti setiap perkembangan yang terjadi mulai dari proses negosiasi, penandatanganan dan implementasi MoU – seperti perwakilan media, LSM nasional, NGO-NGO internasional –, yang telah mengikuti dan melaporkan jalannya suatu proses perdamaian. Dan untuk mendukung itu, tim peneliti juga melakukan studi atas beberapa dokumen dan tulisan-tulisan yang ada tentang Aceh. Diharapkan produk akhir dari penelitian ini akan menyimpulkan pengalaman-pengalaman yang telah dilakukan, pilihan-pilihan yang diambil, pengaruh dan implementasi dari perjanjian, dan pembelajaran yang muncul dari proses-proses perdamaian yang relevan buat Indonesia atau untuk konteks lain di masa depan.
 
II.  SEKILAS TENTANG KONFLIK DI ACEH PASCA DIBENTUKNYA GAM (GERAKAN ACEH MERDEKA)

Secara garis besar konflik yang terjadi di Aceh antara Pemerintah RI dan GAM di mana telah terjadi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia secara kejam dapat digolongkan dalam dua bagian.[6] Pertama, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di era DOM (1989-1998); Kedua, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia pasca DOM.[7]

Kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di era DOM (1989-1998)

Inilah era panjang, era yang tak mudah dilupakan, era di mana kekerasan dan pelanggaran besar-besaran terhadap hak asasi manusia terjadi di Aceh. Semua ini bermula ketika Teungku Hasan di Tiro dan para pendukungnya mendirikan GAM pada tanggal 04 Desember 1976 dan kemudian mendeklarasikan kemerdekan Aceh. GAM terus berkembang dan semakin kuat karena isu yang diusung oleh GAM adalah soal ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Aceh, rakyat hidup dalam keadaan yang memprihatinkan dan melihat bagaimana kekayaan alam mereka dieksploitasi demi kepentingan pusat, desakan untuk memisahkan diri dari Indonesia semakin kuat.
Menanggapi ini maka sejak 1989-1998 pemerintah Indonesia memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Dalam rentang waktu sepuluh tahun ini, telah terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia yang didefinisikan oleh rakyat Aceh sebagai era pembersihan etnik Aceh (genosida).[8] Dalam buku Dari Maaf ke Panik Aceh (sebuah sketsa sosiologi-politik) 2, Otto Syamsuddin Ishak membagi operasi militer ini dalam tiga tahap. Pertama, melakukan operasi militer ke kampung-kampung yang diduga terdapat tokoh GAM. Pada tahap ini, masyarakat dipaksa untuk menyaksikan penyiksaan korban di mana korban ditelanjangi, disiksa, dan akhirnya dieksekusi di depan publik, masyarakat dipaksa untuk menyaksikannya.
Kedua, shock therapy, di mana segerombolan militer memasuki kampung lalu menyemburkan peluru ke udara di senja hari agar masyarakat terjaga. Pada tahap ini, sejumlah perempuan sudah mulai diperkosa dan mengalami pelecehan seksual  serta mulai ditemukannya mayat-mayat laki-laki yang diletakkan di tempat-tempat publik Ketiga, muncul sejumlah pos Sattis dan sekaligus merangkap sebagai kamp-kamp penyiksaan. Pada tahap ini, banyak orang hilang, korban pembunuhan, pemerkosaan dan pemerasan. Di sini tentara dibantu oleh TPO (tenaga pembantu operasi) atau cuak dari masyarakat sipil.[9]
Dengan kata lain, selama diberlakukannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) atau Operasi Jaringan Merah (OJM), telah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia yang menghasilkan trauma yang sangat dalam bagi masyarakat Aceh, trauma yang tak mudah untuk dilupakan baik oleh mereka yang secara langsung atau secara tidak langsung menjadi korban kekerasan dan kekejaman yang dilakukan oleh aparat negara. Dalam rentang 10 tahun ini, telah terjadi pembantaian dan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat kejam seperti, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, pelecehan seksual. Akibat semua ini, banyak perempuan yang menjadi janda, banyak korban yang cacat jiwa, banyak anak yang menjadi yatim, dan masih banyak lagi.

Kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia pasca DOM

Muncul setitik harapan ketika tanggal 07 Agustus 1998 Aceh dibebaskan dari DOM oleh Jenderal Wiranto yang sekaligus menyampaikan permintaan maaf atas kesalahan prajurit TNI di Aceh. Namun sangat disayangkangkan karena setitik harapan itu akhirnya hilang karena tidak lama kemudian Aceh kembali menangis, pelanggaran HAM berat kembali terjadi di Aceh, Aceh kembali dijadikan lahan pembantian oleh TNI dan Polri, tuntutan masyarakat Aceh pasca dicabutnya DOM seperti: tarik pasukan DOM (non-organik); adili para pelanggar HAM; dan beri ganti rugi pada korban, tidak pernah dipenuhi pemerintah. Sungguh sangat disesalkan karena kesempatan emas (pasca dicabutnya DOM) ini tidak mampu dimanfaatkan oleh pemerintah untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat Aceh terhadap negara. Luka lama yang hampir saja terobati kembali menganga bahkan semakin menyakitkan, tangis, jeritan kesakitan, ketakutan kembali menyelimuti Aceh.
Berdasarkan catatan Koalisi NGO HAM Aceh,[10] sejak Agustus 1998 sampai penutup tahun 1999, telah terjadi pelanggaran HAM dalam klasifikasi Pelanggaran HAM Berat dan masuk dalam kategori Crime Againts Humanity (Kejahatan Terhadap Kemanusiaan). Tercatat 1.523 kasus pelanggaran HAM yang terjadi dalam periode ini, jumlah ini secara kuantitas dan kualitas menunjukkan bahwa kekerasan di Aceh meningkat luar biasa dibandinfgikan dengan kekerasan di era DOM. Dalam periode ini bentuk kekerasan yang menonjol adalah tragedi pembantaian warga sipil di depan publik yang dilakukan oleh Negara[11] dan aksi bumi hangus yang disertai dengan penjarahan harta benda warga sipil. Aksi bumi hangus ini mulai terjadi sejak adanya pengiriman serdadu PRRM (Pasukan Penindak Rusuh Massa) ke Aceh atas kebijakan  Jenderal TNI-AD Wiranto.
Dengan kata lain, Aceh pasca DOM ditandai dengan berbagai bentuk kekerasan lewat berbagai macam operasi-operasi yang beragam seperti Operasi Wibawa ’99 (02 Januari 1999), Operasi Sadar Rencong I, II, III (awal Mei 1999 – 18 Februari 2000), kembali mengulangi tindakan-tindakan kekerasan yang pernah dilakukan di era DOM. Akhirnya kekerasan pasca DOM ini diakhiri dengan kesepakatan antara Pemerintah RI dan GAM pada tanggal 12 Mei 2000 tentang penerapan Jeda Kemanusiaan[12] yang mulai berlaku 02 Juni 2000. Upaya ini kemudian dilanjutkan dengan ditandatanganinya Perjanjian Penghentian Permusuhan (Cessation of Hostilities Agreement / CoHA) pada tanggal 09 Desember 2002, namun kesepakatan bersama atau CoHA yang diharapkan mampu menciptakan perdamaian ini pun gagal. Gagalnya CoHA menyebabkan Pemerintah RI kembali memberlakukan Aceh sebagai Daerah Militer (DM) sejak 19 Mei – 19 November 2003 dengan Keppres No. 23 tahun 2003 dan kemudian diperpanjang lagi sampai 19 November 2004 dengan Keppres No. 97 tahun 2003. Selama Aceh menyandang DM (Daerah Militer), kemudian dicabut pada tanggal 19 Mei 2005 dan diganti statusnya menjadi Darurat Sipil (DS), kekerasan dan bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia terus berlanjut. Artinya, selama kurang lebih 16 tahun (era DOM dan pasca DOM), Aceh terus dihantui oleh pembantaian dan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat kejam seperti, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual.
Apa yang dapat kita pelajari dari konflik berkepanjangan di Aceh (era DOM dan pasca DOM)? Operasi Militer, apapun namanya, yang pasti tidak pernah menyelesaikan konflik yang terjadi. Sebaliknya, Operasi Militer malah semakin memperbesar jurang pemisah antara pemerintah RI dengan masyarakat Aceh (khususnya GAM), rasa benci dan dendam atas kekerasan yang dialami semasa DOM semakin kuat dengan praktik kekerasan yang kembali dilakukan oleh aparat negara (TNI dan Polri) pasca DOM. Dengan kata lain, kalau ingin menciptakan perdamaian di Aceh, maka jangan menggunakan pendekatan militeristik yang penuh dengan kekerasan. Pendekatan militeristik yang identik dengan kekerasan akan semakin memperbesar jurang kebencian yang telah ada.
Inilah yang menjadi bahan pembelajaran bagi Jusuf Kalla. Gagalnya perundingan damai (Humanitarian Pause dan CoHA) antara pemerintah RI dan GAM yang difasilitasi oleh Henry Dunant Center (HDC) mendorong Jusuf Kalla (waktu itu masih menjabat sebagai Menkokesra) untuk memikirkan cara lain dalam mengusahakan proses perdamaian di Aceh seperti yang pernah dilakukannya di Poso dan Ambon. Hal ini semakin terang ketika JK terpilih sebagai Wakil Preseiden mendamping SBY di tahun 2004 dan hasilnya adalah lahirnya MoU Helsinki yang ditandatangani oleh Pemerintah RI dan GAM
Penandatanganan MoU Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan tanda dimulainya proses perdamaian di Aceh. Harapan bahwa akan tercipta Aceh baru, Aceh yang penuh dengan perdamaian dan bebas dari kekerasan dan bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia sepertinya akan terwujud, harapan ini ditandai dengan kesepakatan tertulis yang tertuang dalam MoU Helsinki. Secara garis besar ada tiga poin penting yang termuat dalam MoU Helsinki: Pertama, tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh; Kedua,  tentang (penyelesaian pelanggaran) hak asasi manusia; Ketiga, amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat. Inilah cerminan dari Aceh baru, amanat dari MoU Helsinki yang ditandatangani oleh kedua pihak di Finlandia (Helsinki) 15 Agustus 2005.

III.       MELIHAT YANG TAK TERLIHAT DALAM PROSES NEGOSIASI    DAMAI DI HELSINKI

Setelah melalui diskusi yang panjang (dari Januari hingga Juli 2005)[13] akhirnya kesepakatan bersama antara Pemerintah RI dan GAM yang dikenal dengan MoU Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Pertanyaan yang muncul adalah, apa yang menyebabkan kedua pihak mau kembali duduk bersama di meja perundingan setelah dua kali mengalami kegagalan di meja perundingan? Banyak pihak yang mengatakan bahwa salah satu faktor kuat yang menyebabkan kedua pihak kembali mau duduk bersama adalah faktor tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Tsunami telah memporak-porandakan Aceh, bukan hanya kerugian materiil tetapi lebih dari itu tragedi ini telah menewaskan ribuan lebih manusia yang ada di Aceh. Kejadian ini telah menggugah hati kedua belah pihak yang tengah berkonflik, ada semacam kesadaran bersama untuk memikirkan cara terbaik dalam membangun kembali Aceh ke depan. Sebagai contoh, di pihak GAM, ada seorang Kombatan yang mengatakan bahwa my family was gone; the people were gone; the enemy was gone. What is there to fight for?[14] Namun yang pasti tsunami bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan kedua pihak mau duduk kembali di meja perundingan. Tsunami merupakan faktor pendukung yang menyebabkan kedua pihak akhirnya mau duduk bersama untuk kembali memikirkan bagaimana menciptakan perdamaian di Aceh. Adalah Farid Husain,[15] orang kepercayaan Jusuf Kalla yang sesungguhnya sangat berjasa dalam menghantarkan kedua pihak menuju Helsinki.[16]
Banyak hal yang tak diketahui selama berlangsungnya proses negosiasi damai di Helsinki. Proses Negosiasi ini sangat tertutup dan terkesan hanya untuk para elitis dari kedua bela pihak. Hal ini dapat kita lihat dari pernyataan salah seorang narasumber yang kami wawancarai:

“Memang dalam proses negosiasi itu ada usulan agar melibatkan 3 komponen, Pemerintah RI, GAM dan masyarakat sipil. Namun usulan itu ditolak karena konflik di Aceh adalah konflik antara Pemerintah RI dan GAM. GAM merupakan representasi dari gerakan Aceh merdeka yang membawa kepentingan dan kebutuhan masyarakat sipil Aceh, perjuangan GAM juga untuk rakyat Aceh.”[17]

Narasumber yang lain juga mengatakan hal yang sama dan sekaligus menegaskan posisi Civil Society:

Masyarakat sipil mungkin tidak terlibat dalam proses negosiasi MoU tetapi setelah penandatanganan MoU masyarakat sipil mulai mengambil inisiatif untuk mengimplementasikannya.”[18]

Gambaran ini memperlihatkan kepada kita bahwa, masyarakat sipil memang mengetahui adanya proses negosiasi damai antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki, tetapi mereka tidak mengetahui dengan pasti apa yang sebenarnya dibicarakan di sana. Hasil kesepakatan tertulis (MoU) yang ditandatangani oleh kedua pihak itulah yang kemudian memberikan gambaran kepada masyarakat sipil tentang apa yang telah dibicarakan oleh kedua pihak di Helsinki.
            Tentu saja, proses perundingan yang tertutup ini mengundang beberapa pertanyaan kepada kita, bagaimana proses negosiasi yang memunculkan isu-isu yang termuat dalam MoU? Apakah isu-isu itu datang dari Pemerintah RI atau GAM, atau keduanya? Ataukah isu-isu itu merupakan jalan keluar yang diberikan oleh CMI (selaku mediator) guna memecahkan kebuntuhan yang terjadi dalam proses negosiasi itu? Adakah kesepakatan di antara kedua pihak yang tidak termuat dalam MoU? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus diketahui agar proses perdamaian yang berkelanjutan di Aceh dapat terus terjaga.

Isu yang Menonjol Selama Proses Negosiasi

Isu-isu apakah yang menonjol selama proses negosiasi damai di Helsinki? Isu apakah yang disiapkan oleh pihak RI dan GAM sebelum duduk di meja perundingan? Agenda apakah yang ditawarkan oleh CMI selaku mediator? Sulit untuk ditebak karena yang mengetahui jawabannya hanya mereka yang terlibat secara langsung dalam proses negosiasi tersebut (mereka yang berkonflik: pihak Pemerintah RI dan pihak GAM, serta CMI selaku mediator). Yang pasti kedua pihak tidak hadir begitu saja tanpa mengusung tujuan tertentu. Telah kita lihat bahwa kemauan kedua pihak untuk bertemu atau duduk bersama di meja perundingan disebabkan oleh satu tujuan yang sama ‘ingin membangun kembali Aceh secara damai dan bermartabat pasca-tsunami.’ Tujuan ini memang mempertemukan kedua pihak, tetapi untuk sampai ke situ, ada agenda-agenda khusus yang terlebih dahulu harus disepakati oleh kedua pihak agar dalam prosesnya, pembangunan perdamaian di Aceh pasca-tsunami dapat berjalan dengan baik.
            Seperti kita ketahui, ada lima kali pertemuan ‘informal’ yang dilakukan oleh Pemerintah RI dan GAM sebelum sampai pada penandatanganan MoU Helsinki tanggal 15 Agustus 2005. Perwakilan Pemerintah RI datang dengan membawa satu tawaran yang jelas pemberian ‘otonomi khusus’ kepada Aceh. Ini tentu berbeda dengan GAM yang di awal-awal pertemuannya ‘ngotot’ dengan pendiriannya, “ingin lepas dari NKRI (merdeka).’[19] Berangkat dari pemaparan ini, maka dapat dikatakan bahwa isu yang menonjol dalam proses negosiasi Helsinki hanya berkisar antara otonomi khusus yang ditawarkan Pemerintah RI dan keinginan untuk lepas dari NKRI oleh GAM. Kedua isu ini kemudian menemukan sintesisnya dalam self government (Pemerintahan Sendiri). Self government inilah yang menjadi isu paling menonjol dalam proses negosiasi damai di Helsinki. Kenapa ini menjadi isu yang sentral? Karena kedua pihak tidak ingin keluar dari ‘rel perjuangan’ yang selama ini telah dilakoni. Isu self government dan isu partai politik lokal menyita hampir semua tahap pertemuan sehingga beberapa isu yang terkait dengan transitional justice seperti KKR, Pengadilan HAM, Reparasi dan Reintegrasi hanya mendapat porsi yang sedikit.
            Pertemuan pertama (27-29 Januari 2005) belum menghasilkan kesepakatan bersama karena kedua pihak masih tetap mempertahankan posisi masing-masing. Artinya, pada putaran ini pembicaraan masih berkisar seputar isu pemberian otonomi khusus kepada Aceh dan tuntutan kemerdekaan yang dilontarkan pihak GAM. Pada pertemuan kedua (21-23 Februari 2005) tuntutan GAM untuk merdeka (lepas dari NKRI) akhirnya melunak dan mereka bersedia menggantikan tuntutan mereka dengan isu self government yang ditawarkan oleh Martti Ahtisaari dari CMI. Selain self government, isu-isu seperti amnesti, pengelolaan keamanan, monitoring dan implementasinya juga dibahas.. Artinya, sampai pertemuan tahap kedua ini, agenda hak asasi manusia belum dibahas. Di pertemuan ketiga (12-16 April 2005), selain otonomi khusus dan self government, persoalan ekonomi, keamanan, juga agenda hak asasi manusia seperti amnesti dan pelanggaran HAM mulai dibahas. Namun isu yang paling alot dibicarakan selama pertemuan ketiga ini adalah persoalan partai lokal, karena pihak Indonesia tidak dapat mengabulkan secara langsung dalam perundingan, sebab bertentangan dengan UU No. 12/2003 tentang Partai Politik.[20] Pertemuan keempat (26-31 Mei 2005), persoalan partai lokal dan self government masih tetap menjadi isu krusial yang dipertentangkan. Pertemuan kelima (12-17 Juli 2005), isu partai lokal masih menjadi topik utama, walaupun sampai tahap ini kedua pihak sudah membahas draft MoU yang akan ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Kalau kita cermati, isu yang menonjol dan selalu menjadi topik pembahasan dalam proses negosiasi damai yang berlangsung selama lima pertemuan itu adalah isu-isu politik dan ekonomi seperti self government (yang merupakan sintesis dari otonomi khusus dan tuntutan kemerdekaan) dan partai lokal sebagai konsekuensi dari adanya self government. Agenda hak asasi manusia baru muncul pada pertemuan ketiga. Artinya, agenda hak asasi manusia bukanlah isu prioritas atau agenda utama yang terus-menerus muncul dan menjadi pokok pembahasan dalam setiap pertemuan damai antara Pemerintah RI dan GAM.
Walaupun isu hak asasi manusia tidak menjadi agenda utama atau topik utama dalam pembicaraan proses negosiasi damai di Helsinki, namun harus diakui bahwa persoalan hak asasi manusia sesungguhnya merupakan persoalan penting yang disadari oleh pihak GAM (khususnya tentang Pengadilan HAM). Hal ini nampak dari pernyataan salah satu negosiator dari pihak GAM yang berhasil kami wawancarai:

Saya bergabung dengan tim GAM pada ronde kedua. Kami membicarakan banyak hal tentang Pengadilan HAM di antara kami, apa yang dapat kita lakukan agar mencapai kesepakatan tentang ini. Pengadilan HAM merupakan isu yang sangat penting buat kami, tetapi sangat sensitif untuk Pemerintah RI.”[21]

Dari informasi yang berhasil kami dapat,[22] isu KKR awalnya berasal atau ditawarkan oleh Ahtisaari (Direktur CMI) sedangkan isu Pengadilan HAM datang dari pihak GAM. Pertanyaannya adalah sejauh mana keseriusan kedua pihak (dan juga mediator) dalam membicarakan isu-isu hak asasi manusia? Apakah isu-isu hak asasi manusia (seperti KKR dan Pengadilan HAM) hanya dimasukkan saja dalam MoU karena itu merupakan trend Internasional yang harus ada dalam setiap perjanjian damai? Keseriusan dalam membicarakan agenda hak asasi manusia dapat kita ukur dari pernyataan berikut ini:

“Ahtisaari mengatakan: ‘kita harus memasukkan ini (KKR dan Pengadilan HAM) dalam MoU untuk menunjukkan pada dunia bahwa anda menginginkannya.’ Jujur saja, bagaimana nanti pelaksanaannya, kami tidak pernah mendiskusikannya.”[23]

Lepas dari semua itu, dapat dikatakan bahwa hasil kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM yang tertuang dalam MoU Helsinki merupakan hasil terbaik (baca: hasil maksimal) yang telah dicapai oleh kedua pihak. Tentu ini merupakan sebuah perjanjian damai yang dinanti-nantikan oleh semua pihak yang merindukan terciptanya perdamaian yang berkelanjutan di Aceh pasca-tsunami. Awalnya masyarakat Aceh berpikir bahwa proses negosiasi yang terjadi di Helsinki hanya membicarakan tentang perihal genjatan senjata, cease fire (seperti yang terjadi pada Humanitarian Pause dan CoHA), ternyata tidak, karena dari sekian hasil kesepakatan yang tertuang dalam MoU Helsinki, terdapat juga agenda hak asasi manusia yang berkaitan dengan nilai-nilai keadilan yang berperspektif transitonal justice seperti seperti pembentukan KKR dan Pengadilan HAM, dan Reparasi.
 
IV.       PROSES IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEADILAN DALAM PERJANJIAN

Pengadilan HAM, Pengungkapan Kebenaran, Reparasi, dan Reformasi Kelembagaan

Implementasi nilai-nilai keadilan di lapangan seperti pembentukan Pengadilan HAM, pengungkapan kebenaran (lewat KKR), Reparasi, dan Reformasi kelembagaan, seperti yang tertuang dalam MoU dan UUPA ternyata tidak semudah merumuskannya di dalam kertas. Kalau kita lihat dalam MoU (2.2.2) dikatakan bahwa sebuah Pengadilan hak asasi manusia akan dibentuk di Aceh. Persoalan yang ditimbulkan dari pasal ini adalah bahwa tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah Pengadilan HAM yang akan dibentuk ini retroaktif atau tidak retroaktif. Ini semakin menjadi persoalan ketika dalam UUPA (Pasal 228, ayat 1) dikatakan bahwa untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh. Artinya apa? Dalam UUPA Pengadilan HAM akan dibentuk tetapi tidak retroaktif. Kalau Pengadilan HAM bersifat retroaktif maka pihak TNI akan merasa bahwa ini tidak adil, Kenapa GAM mendapat amnesti sedangkan TNI tidak. Ini juga salah satu faktor yang menyebabkan lambannya proses pembentukan Pengadilan HAM di Aceh. Selain itu, dari pihak GAM sendiri ada ketakutan kalau sampai Pengadilan HAM terbentuk maka mereka juga bisa dibawa  ke meja hijau sebagai pelaku pelanggaran HAM.
Demikian juga dengan KKR, dalam MoU (2.2.3) dan UUPA (Pasal 229, ayat 1) dikatakan bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dbentuk di Aceh. Namun sampai saat ini proses pembentukannya masih kontroversi. Di satu sisi, pembatalan UU KKR Nasional oleh MK disinyalir merupakan kendala utama bagi pembentukan KKR Aceh. Apakah ini benar? Dalam penelitian kami di lapangan, kami menemukan fakta bahwa pembatalan KKR Nasional oleh MK bukan bertujuan untuk menggagalkan KKR Aceh, pembatalan KKR Nasional lebih disebabkan karena UU ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945.[24]
            Argumen lainnya mengatakan bahwa KKR Aceh tetap bisa dibentuk walaupun UU KKR Nasional telah dibatalkan oleh MK, hal ini dikarenakan dasar pembentukan KKR Aceh adalah UUPA. Tetapi ini bukan tanpa masalah. Ada kekuatiran dari Pemerinthan Aceh, kalau KKR Aceh dibentuk tanpa melibatkan Pemerintah Pusat maka dikuatirkan Pemerintah Pusat akan lepas tangan. Hal ini nampak dari pernyataan berikut:

“KKR lebih sulit, KKR dilihat tidak penting oleh masyarakat Aceh. Pemilu jauh lebih penting. Karena itu NGO-NGO harus mendorong Jakarta untuk membentuk atau mewujudkan itu. Kedua parlemen, baik Jakarta maupun Aceh menjadwalkan untuk membahas ini pada bulan September 2008, tetapi mungkin ini belum dilaksanakan karena ada prioritas-prioritas yang lebih penting lainnya. Tahun ini DPR Aceh sedang menunggu draft dari masyarakat sipil (yang akan didiskusikan pada tanggal 20 September 2008) dan dari Pemerintah Daerah (APRC). Masyarakat sipil Aceh ingin agar KKR Aceh tidak berada di bawah kontrol KKR Nasional, tidak boleh terikat dengan Jakarta. Gubernur tidak menerima ini karena ia kuatir kalau KKR Aceh dikerjakan sendiri oleh Pemerintah Aceh maka akan kesulitan dalam soal dana. Juga ada kekuatiran kalau nanti tidak legal.”[25]

Isu lainnya seperti reparasi dan reformasi kelembagaan juga belum maksimal. Kenapa belum maksimal? Reparasi seperti yang diamanatkan dalam MoU (terkesan) hanya ditujukan bagi eks kombatan.[26] Pertanyaannya adalah bagaimana dengan mereka yang menjadi korban konflik? Memang dalam MoU (3.2.5.C) dikatakan bahwa “semua rakyat sipil yang mampu menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.” Artinya, untuk mendapat alokasi, korban terlebih dahulu harus membuktikan bahwa ia memang dirugikan oleh konflik yang terjadi. Faktor pembuktian menjadi unsur terpenting, ini tentu semakin mempersulit posisi korban perempuan (khususnya korban perkosaan), padahal merekalah yang paling dirugikan dari konflik yang berkepanjangan antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Amnesti dan Dampak yang Ditimbulkan

Dalam konteks Aceh, pemberian amnesti kepada GAM bukanlah hal yang berlebihan. Secara teoritis, negara memang tidak dapat memaafkan dirinya sendiri atas kesalahan yang diperbuat terhadap warga negaranya (self amnesty) tetapi negara memiliki kewenangan untuk memaafkan kesalahan individu (termasuk GAM) yang menentang negara (crime against state).[27] Karena itu dalam MoU (3.3.1) diatur secara khusus tentang pemberian amnesti kepada GAM. Lalu bagaimana  dengan implementasinya? Setelah penandatanganan MoU, tidak lewat dari 15 hari (seperti yang tertera dalam MoU) hampir semua tahanan GAM mendapat amnesti. Dikatakan hampir semua karena ada beberapa tahanan yang sampai saat ini belum dibebaskan. Berikut penuturan salah satu narasumber tentang proses implementasi amnesti:

“Tentang amnesti, sampai saat ini ada 10 orang TAPOL dari GAM yang belum dilepas. Salah satunya adalah Ismohadi, Panglima GAM untuk Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Ia dituduh membom BEJ dan dihukum seumur hidup. Ia belum dibebaskan karena dituduh bukan GAM, padahal dalam BAP-nya, ia dituduh sebagai GAM. Posisi GAM terhadap kasus Ismohadi juga tidak jelas. Dalam kasus ini, Pimpinan GAM mengakui bahwa Ismohadi adalah anggota GAM (baca: TAPOL) tetapi Pemerintah melihat kasus Ismohadi adalah murni kriminal.”[28]

            Pernyataan ini mau menunjukkan bahwa amnesti yang terdapat dalam MoU tidak berlaku bagi mereka yang tindakannya dinilai murni kriminal sekalipun itu adalah orang GAM. Poin ini merupakan senjata ampuh bagi Pemerintah RI untuk tidak memberikan amnesti bagi sepuluh orang TAPOL dari GAM yang masih ditahan. Lepas dari itu, walaupun proses implementasi dari amnesti ini berjalan, tetapi di sisi lain menimbulkan persoalan baru bagi proses implementasi nilai-nilai keadilan lainnya, khususnya untuk Pengadilan HAM. Bukan rahasia umum lagi kalau pemberian amnesti kepada GAM memicu munculnya beberapa pertanyaan penting seperti: Apakah adil kalau amnesti diberikan pada GAM? bagaimana dengan TNI, bukankah keduanya (TNI dan GAM) sama-sama merupakan pelaku pelanggaran HAM ketika konflik berlangsung?
Kalau Pengadilan HAM dibentuk untuk menghukum para pelaku pelanggaran HAM berat (khususnya TNI), maka pihak GAM harus di seret juga. Kalau pihak GAM mendapat amnesti, maka pihak TNI juga harus mendapat amnesti. Secara teoritis, adalah wajar (seperti sudah dijelaskan di atas) kalau negara memberikan amnesti kepada GAM yang dinilai menentang negara (crime against state), ini tentu berbeda dengan TNI (wakil negara) yang melakukan pelanggaran HAM berat atas nama negara. Negara tidak dapat memberikan amnesti kepada dirinya sendiri (self amnesty) atas kesalahan yang telah dilakukan terhadap warga negaranya, namun bukan tidak mungkin  ini terjadi di mana negara dapat memberikan amnesti bagi dirinya sendiri. Karena itu, dalam MoU tertulis bahwa hanya GAM yang menerima amnesti. Selain itu, dengan menerima amnesti, maka secara tidak langsung pihak GAM mengakui bahwa mereka juga adalah pelaku Pelanggaran HAM berat.
Apa kaitannya dengan Pengadilan HAM? Mengapa sampai saat ini Pengadilan HAM untuk Aceh belum juga dibentuk? Selain beberapa alasan yang menyebabkan macetnya proses pembentukan Pengadilan HAM (seperti yang telah dijelaskan di atas), “diduga ada semacam perjanjian tidak tertulis (dalam MoU) antara Pemerintah RI dan GAM untuk juga memberikan amnesti kepada TNI sebagai konsekuensi dari amnesti yang diterima oleh GAM.” Kalau ini benar, maka sangat mustahil kalau Pengadilan HAM di Aceh akan terbentuk. Namun, kalau Pengadilan HAM dipaksakan terbentuk maka pertanyaannya adalah, apakah para pelaku (utama) dapat dibawa ke meja hijau? Sejarah membuktikan bahwa Pengadilan HAM di Indonesia belum mampu membawa Pelaku (utama) ke meja hijau untuk dihukum karena pelanggaran ham berat yang dilakukan.

Kalau kita amati, salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya proses implementasi isu-isu keadilan yang terdapat di MoU adalah karena cara perumusannya dalam bentuk tertulis tidak begitu jelas sehingga bisa memunculkan interpretasi yang berbeda-beda. Ini tentu merupakan buah dari proses negosiasi damai yang tidak memberikan porsi yang cukup terhadap pembahasan isu-isu keadilan yang disebutkan di atas. Karena ketidakjelasan  maksudnya, maka kemudian perumusannya di dalam UUPA juga bermasalah.

MoU VS UUPA?

Seperti kita ketahui, UUPA yang disahkan pada tanggal 01 Agustus 2006 adalah merupakan amanat dari MoU Helsinki.[29] Walaupun sudah dibentuk dengan UU No 11 tahun 2006, namun dalam prakteknya ada beberapa pasal UUPA yang bertolak belakang dengan apa yang tertuang dalam MoU.[30] Artinya, ketika UUPA disahkan, masyarakat Aceh dan pihak GAM merasa dirugikan karena ada beberapa klausal dalam UUPA yang tidak sejalan dengan amanat dari MoU Helsinki.
Tentu saja ini bukanlah hal yang mengejutkan karena jauh sebelum UUPA disahkan, ada beberapa pihak yang secara terang-terangan tidak setuju dengan hasil kesepakatan damai yang ditandatangani oleh pihak Pemerintah RI dan GAM di Helsinki. Sebut saja Megawati (Ketua Umum PDIP). Menurut Megawati, nota kesepahaman Pemerintah RI-GAM bukan produk hukum yang bisa mendasari pembuatan UU Pemerintahan Aceh.[31] Selain Megawati, ketidaksetujuan terhadap hasil MoU juga datang dari pihak TNI yang menilai bahwa MoU Helsinki dapat mengancam keutuhan NKRI.
Argumen-argumen yang tidak menyetujui MoU itu tentu memiliki alasannya. Hal ini disebabkan karena tidak dilibatkannya pihak-pihak tertentu (seperti para legislatif/ DRP RI)  dalam keputusan-keputusan yang diambil selama berlangsungnya proses negosiasi damai. Mungkin inilah salah satu alasan kenapa beberapa poin kesepakatan yang terdapat dalam MoU dinilai bertentangan atau tidak dituangkan dalam UUPA. Artinya, UUPA yang merupakan turunan langsung dari MoU Helsinki seharusnya mengandung semua unsur yang disepakati dalam MoU dan bukan sebaliknya, berlawanan dengan MoU.
Yang paling krusial adalah soal asas retroaktif dalam Pengadilan HAM. Dalam MoU (2.2.2), dikatakan bahwa akan dibentuk Pengadilan HAM di Aceh, di situ tidak dijelaskan apakah Pengadilan HAM yang akan dibentuk itu retroaktif atau tidak retroaktif. Yang pasti Pengadilan HAM akan dibentuk di Aceh. Dalam UUPA, Pasal 228 (1), dikatakan bahwa Pengadilan HAM akan dibentuk di Aceh tetapi hanya untuk kasus pelanggaran HAM setelah dibentuknya UU ini. Tentu ini merupakan bentuk lain dari pemberian keadilan bagi TNI yang dalam MoU tidak mendapat amnesti seperti GAM.
Tetapi apakah benar bahwa UUPA bertentangan dengan UUPA? ada beberapa pihak yang melihat sebaliknya:

“Urusan Nasional itu banyak, pihak DPR sudah cukup berbaik hati dengan mengeluarkan UUPA, jadi untuk apa lagi menuntut lebih. Situasi demokrasi di Indonesia masih dalam proses, otonomi juga masih berada dalam proses. Jadi, dalam kacamata nasional UUPA itu sudah cukup untuk membangun Aceh, keadilan itu sudah cukup. Tapi untuk orang Aceh kok UUPA jauh dari MoU.[32]

Artinya, bertentangan atau tidak, dengan disahkannya UUPA saja itu sudah merupakan bentuk kepedulian yang tinggi dari Pemerintah (baca: DPR) untuk Aceh. Jadi yang harus dilakukan sekarang adalah kerjakan terlebih dahulu yang sudah ada.

Perdamaian VS Keadilan?

Walaupun terdapat beberapa klausal dalam UUPA yang dinilai bertentangan dengan MoU, tetapi kita sepakat bahwa itu bukanlah halangan bagi semua pihak (entah GAM, Pemerintah RI, Pemerintah Aceh, maupun masyarakat sipil) untuk menjaga dan menciptakan perdamaian yang berkelanjutan di Aceh. Di sisi lain, kita dapat bertanya, apakah perdamaian yang sudah berjalan selama 3 tahun ini telah memuaskan semua pihak? Apakah adil kalau perdamaian ini terus berjalan tanpa ada pengungkapan kebenaran dan menghukum para pelaku pelanggaran HAM? Atau dengan kata lain di manakah kedudukan keadilan dalam keseluruhan proses perdamaian yang sudah berjalan selama 3 tahun ini?
            Perdamaian memang penting, namun harus berjalan beriringan dengan pemenuhan keadilan bagi korban. Artinya, perdamaian harus disertai pengungkapan kebenaran dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Hal ini tentu seiring dengan apa yang diungkapkan oleh staf Senior ELSAM Amiruddin al Rahab, “Perdamaian Helsinki harus dirawat dan dikembangkan dengan membangun dan juga merawat keadilan di Aceh berkaitan dengan pelanggaran HAM. Disinilah pertaruhan Aceh Indonesia ke depan.”[33] Kalau perdamaian harus berjalan beriringin dengan penegakan keadilan maka tentu saja keduanya (perdamaian dan keadilan) tidak perlu dipertentangkan.
Situasi di Aceh saat ini memperlihatkan kepada kita bahwa memelihara perdamaian jauh lebih penting daripada yang lainnya. Semua pihak harus ambil bagian dalam proses pemeliharaan perdamaian. Kalau dilihat sesaat, pernyataan ini seakan-akan menomorsatukan perdamaian di atas isu lainnya termasuk upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan. Alasan ini semakin kuat dengan lambannya proses pembentukan KKR dan Pengadilan HAM di Aceh yang menurut sebagian pihak kalau kedua instrumen ini terbentuk maka perdamaian yang berkeadilan akan tercipta di Aceh. Kenapa demikian? Karena lewat kedua instrumen ini, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi di Aceh dapat diselesaikan.
Namun persoalannya bukan hanya sampai di situ. Lebih dari itu, perdamaian yang terjadi di Aceh harus dipandang sebagai sebuah upaya bersama antara Pemerintah RI, GAM dan Pemerintah Aceh dalam menghormati MoU. Perdamaian tidak harus dipertentangkan dengan keadilan tetapi juga keadilan tidak boleh dikorbankan demi perdamaian. Proses pembentukan KKR dan Pengadilan HAM di Aceh sampai saat ini masih berjalan, persoalannya adalah sudah sejauh mana kedua instrumen itu berjalan? Jika KKR, terlebih Pengadilan HAM terbentuk maka apakah keadilan yang diimpikan oleh masyarakat Aceh dapat terpenuhi? Apakah mungkin para pelaku pelanggaran HAM dapat diseret ke Pengadilan? Seperti sudah diuraikan di atas, bahwa sejak dibentuknya Pengadilan HAM di Indonesia, belum ada satu pun pelaku pelanggaran HAM berat yang berhasil diseret ke meja hijau, apalagi sampai dihukum. Apakah Aceh akan mengalami hal yang sama?
Inilah PR bagi kita (khususnya masyarakat Aceh) untuk bersiap-siap mengawal jalannya proses Pengadilan jika suatu hari nanti Pengadilan HAM akan terbentuk di Aceh, dengan demikian keadilan yang diharapkan dapat tumbuh di tengah-tengah perdamaian yang sudah berjalan selama 3 tahun ini. Dengan demikian, perdamaian dan keadilan  tidak perlu dipertentangkan karena perdamaian yang saat ini sedang berjalan masih terus dibarengi dengan proses pemgungkapan kebenaran dan keadilan, proses pembentukan Pengadilan HAM dan KKR tidak macet tetapi masih berada dalam proses.

V.    PENUTUP: LESSON LEARNED

Apa yang dapat dipelajari dari proses negosiasi damai antara Pemerintah RI dan GAM yang berlangsung selama 5 kali pertemuan di Helsinki? Selain itu pembelajaran apa yang dapat kita ambil dari proses  implementasi MoU yang sudah berlangsung selama 3 tahun ini? Tentu saja ada banyak poin plus yang dapat kita pelajari dari kasus Aceh, mulai dari proses negosiasi damai sampai pada proses implementasinya. Di bawah ini beberapa catatan yang menurut kami perlu dijadikan sebagai bahan pelajaran ke depan:

  1. Dalam setiap proses negosiasi damai, isu-isu keadilan seperti penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu harus menjadi isu sentral atau isu prioritas di atas isu lainnya. Ini penting agar ada jaminan bahwa ke depan kejadian-kejadian serupa tidak terjadi lagi. Ini bukan berarti bahwa isu lainnya tidak penting, isu lainnya tetap dibahas namun tetap dalam frame pengungkapan kebenaran dan keadilan.
  2. Peran pihak ketiga dalam penanganan konflik sangat penting, Aceh telah menunjukkan kepada kita bahwa peran pihak ketiga (bisa organisasi nasional maupun internasional) sangat urgent untuk menumbuhkan rasa saling percaya di antara para pihak yang berkonflik. Namun yang kurang adalah bahwa peran pihak ketiga tidak cukup hanya sampai tahap negosiasi hingga pencapian sebuah draft final seperti MoU, tetapi lebih dari itu, keterlibatannya juga dalam mengawal implementasi sebuah kesepakatan damai sangat penting. Dalam kasus Aceh, peran pihak ketiga memang berlanjut terus untuk mengawal proses implementasi MoU (dalam hal ini AMM) tetapi tanggung jawab ini tidak maksimal dilakukan karena kemudian dibubarkan “sebelum waktunya.”
  3. Jangan sampai sebuah sebuah kesepakatan damai seperti MoU Helsinki dinilai hanya menguntungkan kedua pihak yang bertikai (Pemerintah RI dan GAM). Artinya posisi para korban (victims) khususnya korban perempuan harus diperhitungkan sebagai pihak yang paling menderita karena konflik yang berlangsung.
  4. Keterlibatan dan komitmen semua pihak (Pemerintah RI, Pihak yang bertikai, Masyarakat Sipil/CS, Organisasi Kemasyarakatan/NGO/CSO) merupakan kunci utama menuju terlaksananya proses implementasi MoU yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Dalam konteks Aceh, disinyalir masih ada kecurigaan baik dari Pemerintah RI terhadap GAM maupun GAM terhadap Pemerintah RI. Selain itu, masyarakat sipil khususnya korban yang paling menderita akibat konflik yang berkepanjangan tersebut merasa belum mendapatkan keadilan dari proses implementasi MoU. Inilah salah satu faktor kenapa pelaksanaan implementasi MoU dinilai belum maksimal.

Catatan:

[1] Paper ini merupakan hasil Penelitian yang dilakukan bersama oleh ICTJ Indonesia dan ELSAM
[2] Ini merupakan kutipan hasil wawancara tim peneliti dengan salah satu narasumber di Banda Aceh
[3]  Awalnya disepakati bahwa perjanjian ini akan berlangsung selama 3 bulan (hingga September) tetapi kemudian diperpanjang 3 bulan lagi (hingga Januari 2001) karena konflik bersenjata dan tindak kekerasan cenderung menurun. Lihat: Abdul Rachman Patji, dkk., Negara dan Masyarakat dalam Konflik Aceh: Studi tentang Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Penyelesaian Konflik Aceh, Jakarta, LIPI, 2004, hlm. 187
[4] Lihat: ELSAM, Briefing Paper No. 2, 30 April 2003, hlm. 8
[5] Seluruh proses perundingan, perumusan butir kesepakatan, dan penandatanganan praktis hanya melibatkan Pemerintah RI, khususnya TNI, dan GAM dengan HDC sebagai fasilitator. Masyarakat sipil, dan bahkan pemerintah daerah, serta kepolisian daerah , tidak pernah terlibat langsung dalam seluruh proses perdamaian. Op. cit., Abdul Rachman Patji, hlm. 194
[6] Pembagian ini dimulai sejak terbentuknya Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
[7] Disadur dari tulisan Amirrudin al Rahab dan Raimondus Arwalembun, Menormalkan Aceh: Mungkinkah Tanpa Pengungkapan Kebenaran, (tidak dipublikasikan)
[8] Lihat: Otto Syamsuddin Ishak, Pembersihan dan Demoralisasi Etnik Aceh (analisis peristiwa) dalam buku Menjaring Hari tanpa Air Mata (Catatan Peristiwa Kekerasan di Aceh Sepanjang Tahun 1999), Aceh: Koalisi NGO HAM Aceh, 2000, hal. 3
[9] Lihat: Syamsuddin Ishak, Otto, Dari Maaf ke Panik (Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik), Jakarta: LSPP, 2001, hal. 120-121
[10] Lihat: Koalisi NGO HAM Aceh, Menjaring Hari tanpa Air Mata (Catatan Kekerasan di Aceh Sepanjang Tahun 1999), Aceh: Koalisi NGO HAM Aceh, 2000.
[11] Bentuk-bentuk tragedi pembantaian yang terjadi seperti: a. Insiden Gedung KNPI Aceh Utara (09 Januari 1999); b. Insiden Idi Cut (03 Februari 1999); dan c. Insiden Tgk Bantaqiah (23 Juli 1999).
[12] Jeda Kemanusiaan bertujuan antara lain untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat korban akibat konflik di Aceh melalui Komite Bersama Kemanusiaan dan untuk meningkatkan langkah-langkah membangun kepercayaan untuk mendapatkan solusi damai terhadap situasi konflik di Aceh. Lihat: Laporan Pelapor Khusus untuk Aceh (Januari 2007), Pengalaman Perempuan Aceh Mencari dan Meniti Keadilan dari Masa ke Masa, Jakarta: Komnas Perempuan, 2007.
[13] Ada 5 putaran yang dilalui oleh pihak Pemerintah RI dan GAM sebelum sampai pada penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Putaran pertama berlangsung pada 27-29 Januari 2005; putaran kedua berlangsung pada 21-23 Februari 2005; putaran ketiga berlangsung pada 12-16 April 2005; putaran keempat berlangsung pada 26-31 Mei 2005; dan putaran kelima berlangsung pada 12-17 Juli 2005.
[14] Lihat, Judith Large dan Aguswandi (eds.), Reconfiguring politics: the Indonesia-Aceh peace process. (09 Sept 2008 - Conciliation Resources’ new Accord 20 publication) Full text available free online in English: http://www.c-r.org/aceh/
[15] Pernyataan ini bukan berarti hendak mengabaikan peran masyarakat sipil (baik di Aceh, Jakarta, dan di tempat lain) yang ikut mengambil bagian dalam membangun upaya menciptakan perdamian di Aceh. Lebih dari itu, upaya yang dilakukan Farid Husain menunjukkan keseriusan Pemerintah RI untuk menciptakan perdamaian di Aceh.
[16] Husain membutuhkan waktu tak kurang dari 2 tahun untuk menelusuri informasi, jaringan, dan mencari hubungan dengan para pemimpin GAM. Dia keluar-masuk hutan Aceh, terbang ke Singapura, Belanda, Swedia, hingga mencari saudara-saudara para pemimpin GAM Swedia yang tinggal di pinggiran Jakarta. Lihat: Widiyanto, Meretes Jalan ke Helsinki, 26 Juni 2008 dalam http://www.acehfeature.org/detailberita.php?id=616. Lihat juga: Moch. Nurhasim, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka (Kajian Tentang Konsensus Normatif antara RI – GAM dalam Perundingan Helsinki), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 87-100.
[17] Hasil wawancara tim peneliti dengan salah satu narasumber di Banda Aceh.
[18] Ibid
[19] Analisis ini berangkat dari pengalaman penulis dalam mewawancarai beberapa narasumber yang ada dan juga pembacaan penulis atas pemaparan yang disampaikan dalam buku: Moch. Nurhasim, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka (Kajian Tentang Konsensus Normatif antara RI – GAM dalam Perundingan Helsinki), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
[20] Ibid, Moch. Nurhasim, hlm. 165
[21] Hasil wawancara tim peneliti dengan salah satu negosiator dari pihak GAM
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Pernyataan ini merupakan perumusan lebih lanjut dari pernyataan salah satu narasumber yang berhasil kami wawancarai di Aceh. Ia mengatakan begini: “Kami panggil orang Departeman Hukum dan HAM, kami tanya apakah Pemerintah RI hendak membatalkan KKR Aceh dengan dibatalkannya KKR Nasional oleh Mahkamah Konstitusi? Ternyata tidak, KKR Nasional dibatalkan karena dinilai bertentangan dengan  UUD 1945.”
[25] Hasil wawancara tim peneliti dengan salah satu narasumber di Banda Aceh.
[26] Lihat: Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (MoU Helsinki versi Bahasa Indonesia yang telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM) Pasal 3.2.5.B yang berbunyi: “semua tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, tau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.”
[27] Lihat tulisan Ifdhal Kasim, Dilema Simalakama: Amnesti di Masa Transisi Politik dalam buku: Pencarian Keadilan di Masa Transisi, Jakarta: ELSAM, 2003, hlm. 351
[28] Hasil wawancara tim peneliti dengan salah satu narasumber di Banda Aceh.
[29] Ibid, Pasal 1.1.1 yang berbunyi: “Undang-undang baru tentang penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.”
[30] Sebagai contoh: dalam MoU pasal 1.3.3, dikatakan bahwa Aceh akan mengelolah sendiri sumber daya alamnya. Namun dalam UUPA, Pasal 60 ayat (1) dikatakan bahwa sumber daya alam Aceh akan dikelolah bersama antara pemerintah Aceh dan Pemerintah RI, masih bersifat sentralistik. Artinya, investor yang mau menanam modal di Aceh harus ada ijin dari pemerintah pusat.
[31] Lihat Kompas Cetak di: http://64.203.71.11/kompas-cetak/0602/17/Politikhukum/2443723.htm, MoU Helsinki bukan Produk Hukum.
[32] Hasil wawancara tim peneliti dengan salah satu narasumber di Banda Aceh.
[33] Lihat: Koalisi Pengungkap Kebenaran Aceh, Demi Kebenaran dan Keadilan di Aceh (Catatan Ide Rumusan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh), Jakarta: KPK Aceh, 2008, hlm. 70


Untuk detailnya, silahkan baca di Link berikut ini:

Negotiating Peace in Indonesia Country Case Study: Indonesia

By: Scott Cunliffe, Eddie Riyadi, Raimondus Arwalembun, dan Hendrik Boli Tobi

2 komentar:

Unknown mengatakan...

bolavita Agen Judi Bola Casino Baccarat Poker Togel QiuQiu online terpercaya dan terbesar di Indonesia, untuk pembukaan account semua jenis judi online

Boss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )

awdawd mengatakan...

judi slot terbaik 2019

judi slot terpopuler

judi slot terbanyak

judi slot online terpercaya


https://taruhanslot.me/judi-slot-online-temple-of-gold-terpercaya-2020/

BONUS 10% MEMBER BARU SLOT VIVOSLOT, JOKER123, PLAY1628
Judi Slot Bolavita Bisa Deposit Via OVO & GO-Pay.
Taruhan Slot Deposit Via Pulsa XL & TSEL 25rb.

INFO Pendaftaran Slot Online : http://159.89.197.59/register/
INFO Artikel Slot Online : https://taruhanslot.live

WITHDRAW BESAR
JACKPOT BESAR
SLOT GAMES!!
Buruan Daftar , Main dan Withdraw Bersama Agen Judi online BOLAVITA kembali.

Telegram : +62812-2222-995
Wechat : Bolavita
WA : +62812-2222-995
Line : cs_bolavita

Posting Komentar