Maret 29, 2011

Menuju Pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh

Review Perkembangan Terakhir

(Buletin ASASI ELSAM Edisi Mei-Juni 2008)


Oleh Raimondus Arwalembun


Mengapa pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh seperti yang tertuang dalam MoU Helsinki yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka belum terwujud? Siapakah yang bertanggung jawab terhadap proses pembentukannya? Kalau pemerintah pusat yang bertanggung jawab, apa bentuk tanggung jawabnya dalam mengupayakan pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh?

Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan penuntun bagi kita untuk melihat sampai sejauh manakah pemerintah pusat menjalankan kewajibannya dalam mewujudkan pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh. Inilah yang dituntut oleh rakyat Aceh, tanggung jawab negara dalam melaksanakan kewajibannya itu. Menurut hemat penulis, dalam proses pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh, pemerintah terkesan mengabaikan kewajibannya itu. Ini terlihat ketika bulan Desember 2006 yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut UU No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh dapat diwujudkan setelah KKR Nasional dicabut oleh MK karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945? Lepas dari jawaban atas pertanyaan di atas, di tahun ini (2008), suara-suara yang menuntut pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh terus menggema. Berikut adalah beberapa data terakhir perkembangan isu Pengadilan HAM dan KKR Aceh yang dihimpun dari berbagai sumber:

Pada tanggal 22 Januari 2008, Koalisi Pengungkap Kebenaran Aceh meminta DPR mendesak pemerintah menuntaskan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, mereka mengusulkan dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Menurut Rafendi Djamin (Koordinator Human Rights Working Group), semangat pembentukan pengadilan HAM dan KKR Aceh adalah menghentikan kekerasan yang terjadi di Aceh, jadi dicabutnya UU KKR Nasional oleh Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak membatalkan pembentukan KKR Aceh sebab dasar pembentukan KKR Aceh adalah UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh;

Tanggal 16 April 2008, CoSPA (Commission on Sustaining Peace in Aceh) mendesak pemerintah pusat mempercepat pembentukan pengadilan HAM dan KKR untuk Aceh. Menurut Ir Azwar Abubakar MM (Pimpinan Pertemuan CoSPA), Pengadilan HAM dan KKR Aceh merupakan amanat MoU Helsinki serta Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang belum terealisasi. Selain itu, dalam rilis komisi yang ditandatangani pemimpin pertemuan CoSPA, Azwar Abubakar, dinyatakan, pembahasan draf peraturan daerah atau qanun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengenai KKR sebaiknya dilakukan setelah RUU KKR di tingkat nasional disahkan menjadi undang-undang. Pembentukan qanun mengenai KKR Aceh yang dilakukan sebelum UU KKR disahkan dikhawatirkan akan bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya;

Tanggal 29 April 2008, dalam rapat yang digelar di Sekretariat Forbes Damai Aceh, Kompleks Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, anggota Forbes Damai Aceh sepakat untuk membahas rancangan qanun (raqan) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tugas tersebut nantinya akan dilaksanakan Badan Narasumber Damai Aceh atau Aceh Peace Resouces Center (APRC);

Tanggal 1 Mei 2008, Sedikitnya 40 pakar, akademisi dan praktisi dilibatkan pemerintah dalam menyusun satu draft rancangan qanun (Raqan) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dua orang di antaranya adalah pakar asal Jerman. Tim pra rancangan qanun KKR dibentuk melalui keputusan Gubernur No. 188.342/37/2008 tanggal 8 April 2008 terdiri 40 personil. Tim ini bertugas mencari bahan masukan untuk pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi, baik dari nilai-nilai universal maupun kearifan lokal serta norma-norma agama;

Pada tanggal 07 Mei 2008, dalam kunjungannya, Ketua Crisis Management Initiative (CMI) dan Interpeace Peacebuilding Alliance Martti Ahtisaari mempertanyakan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang kini mandeg.

Fakta-fakta di atas, sesungguhnya hendak menunjukkan kepada kita bahwa penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Aceh sebenarnya merupakan persoalan mendesak yang harus segera dipikirkan kembali. Artinya, pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh sebagaimana diamanatkan dalam MoU Helsinki harus segera diwujudkan. Tapi apakah ini mungkin? Menurut hemat penulis, walau pun dasar pembentukan KKR Aceh adalah UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, namun pembentukannya akan sulit terwujud kalau pemerintah pusat tidak serius untuk mencari atau membentuk kembali UU KKR Nasional yang telah dibatalkan MK pada bulan Desember 2006 yang lalu. Kalau faktanya demikian, berarti negara, dalam hal ini “tidak mampu” melaksanakan kewajibannya. Pertanyaan kritisnya adalah: kalau negara “tidak mampu,” apakah masyarakat Aceh mampu mewujudkannya? Semoga....!

0 komentar:

Posting Komentar