(Dimuat di Buletin ASASI Elsam, Edisi Januari-Februari 2009)
Agama dan Indonesia adalah dua entitas yang sama-sama “kabur.” Kabur karena dua entitas tersebut memiliki arti yang masih terbuka untuk terus diperdebatkan. Bagaimana dengan mereka yang memilih untuk tidak beragama?
Kehidupan
beragama di Indonesia belakangan ini dinilai terancam dengan hadirnya
berbagai aliran baru yang dinilai sesat. Sebut saja aliran Ahmadiyah dan
Lia Eden yang dinilai bertentangan dengan agama-agama yang “dianggap”
benar di Indonesia. Mengapa aliran-aliran ini dianggap sesat? Apakah UUD
1945 Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi bahwa “negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” tidak berlaku untuk
aliran kepercayaan seperti Ahmadiyah dan Lia Eden? Kalau itu benar, maka
UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 yang disebutkan di atas tidak sejalan dengan
Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi “setiap
orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal
ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan
untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya,
melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”
Ada
kecenderungan bahwa UUD 1945 Pasal 29 (2) ditafsirkan hanya untuk
agama-agama yang secara resmi diakui di Indonesia. Artinya, kalau ada
aliran baru yang dinilai menyimpang atau melecehkan ajaran atau
kepercayaan agama lain maka dengan sendirinya akan ditindak secara tegas
dengan Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang
penodaan agama. Pasal 156a KUHP ini jelas-jelas merupakan sebuah produk
kebijakan yang membelenggu kebebasan beragama dan berkeyakinan di
Indonesia.
Kalau aliran-aliran kepercayaan yang ada dianggap
bertentangan dengan UUD 1945 maka muncul persoalan baru. Persoalan itu
adalah bagaimana dengan hak untuk tidak beragama? Bukankah ini juga
merupakan hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang yang ada di
muka bumi ini?
Kebebasan untuk Beragama dan Hak untuk Tidak Beragama
Tidak
beragama atau tidak memiliki agama bukan berarti atheis. Atheis berarti
tidak mengakui adanya Tuhan. Berbeda dengan mereka yang memilih untuk
tidak menganut salah satu agama yang ada, mereka percaya bahwa kehidupan
ini merupakan anugerah yang tak ternilai dari suatu “zat tertinggi”
yang dalam agama-agama yang ada disebut Tuhan. Kalau kebebasan untuk
memilih dan memeluk agama atau suatu keyakinan merupakan hak asasi
manusia yang tidak dapat ditawar-tawar, maka konsekuensi logisnya adalah
hak untuk tidak memilih atau memeluk agama juga merupakan hak asasi
manusia. Apakah ini mungkin di Indonesia?
Secara implisit
kebebasan untuk tidak beragama di Indonesia memang tidak diatur dalam
UU, namun kalau dicermati, UUD 1945 Pasal 29 (2) sebenarnya merupakan
jaminan bagi warga negara Indonesia untuk menentukan pilihannya dalam
hal memeluk atau tidak memeluk satu agama yang ada. Kalau ini benar,
kenapa kita yang beragama ini begitu cemas dengan hadirnya berbagai
aliran yang ada? Akankah keimanan kita terancam dengan hadirnya
kepercayaan-kepercayaan baru dengan ajaran-ajaran mereka yang dinilai
menyimpang dari ajaran agama kita?
Agama yang kuat adalah agama
yang berhasil melewati berbagai tantangan dan ancaman zaman yang selalu
menghantui mereka. Kalau pernyataan ini benar maka ketakutan akan
munculnya berbagai aliran baru yang dinilai menghina atau mengancam
keberadaan agama-agama yang “diakui” secara resmi di Indonesia belum
matang dan siap menghadapi berbagai kemungkinan yang mengancam
eksistensinya. Karena merasa terancam, maka kelompok agama tertentu
mencoba membentengi diri dengan berbagai aksi kekerasan dan kalau bisa
“memaksa” pemerintah atau negara untuk mengekang kebebasan beragama
lewat berbagai kebijakan (peraturan-peraturan) yang ada.
Negara dan Agama
Memberikan
jaminan kepada warganegara dalam menjalankan hak-haknya termasuk
kebebasan menjalankan agama atau kepercayaannya sudah merupakan
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh negara. Sudah seharusnya
Indonesia sebagai negara yang mengakui dan menghargai hak asasi manusia
melindungi dan menjamin kebebasan warganegaranya dalam memilih dan
memeluk agama dan kepercayaan yang dianutnya dan bukan bertindak menurut
kehendak mayoritas. Mengutip pernyataan Fanz Magnis Suseno “dalam
negara hukum demokratis modern, ditegaskan secara prinsipil bahwa dalam
hal keyakinan, kepercayaan, dan agama prinsip mayoritas tidak berlaku.
Prinsip bahwa para warganegara tidak boleh didiskriminasi berdasarkan
agama atau kepercayaan merupakan salah satu implikasi terutama dari
pengakuan terhadap martabat manusia dan oleh karena itu diakui sebagai
hak asasi manusia (Etika Politik, Gramedia, 2003, hlm. 358).”
Implikasinya,
setiap tindakan yang mencoba menentang perbedaan dalam menjalankan
agama atau kepercayaannya lewat tindakan kekerasan harus berhadapan
dengan negara. Negara akan dinilai gagal kalau tidak mampu melindungi
warga negaranya dalam menjalankan kepercayaan atau agama yang dianutnya
termasuk melindungi warganegaranya yang memilih untuk tidak beragama.
Pertanyaan besar yang muncul berkaitan dengan kewajiban negara ini
adalah kalau negara gagal melindungi warganegaranya dalam menjalankan
agama atau kepercayaannya, maka bagaimana dengan mereka yang tidak
beragama? Apakah negara mampu menjamin keberadaan orang-orang ini yang
belum berani mengakui secara terang-terangan keputusan atau pilihan
mereka untuk tidak beragama? Semoga........
1 komentar:
bolavita Agen Judi Bola Casino Baccarat Poker Togel QiuQiu online terpercaya dan terbesar di Indonesia, untuk pembukaan account semua jenis judi online
Boss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )
Posting Komentar