(Buletin ASASI ELSAM Edisi Juli-Agustus 2008)
Oleh Raimondus Arwalembun
Oleh Raimondus Arwalembun
Judul Buku:
Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari (A)rendt sampai (Ž)ižek
Penulis:
Bagus Takwin, Daniel Hutagalung, Eddie Sius Rityadi, Robertus Robet, dan Tony Doludea.
Pengantar:
Rocky Gerung
Penerbit:
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi dan Marjin Kiri (Jakarta) Tahun : 2008
Data Fisik:
xxxix, 215 hlm
“Kembalinya Politik” merupakan buku tentang politik yang secara khusus dipersembahkan oleh P2D kepada A. Rahman Tolleng sebagai hadiah ulang tahunnya. Dari judul buku ini, muncul pertanyaan apa pentingnya mengembalikan politik? Dalam pengantarnya Rocky Gerung mengatakan penting mengembalikan politik karena politik (yang selama ini ditafsirkan keliru) merupakan urusan keadilan umum yang melibatkan semua orang, dan untuk membahagiakan seluruh rakyat (hal. viii-ix).
Secara keseluruhan buku ini terdiri dari 6 sub tema. Keenam sub tema itu adalah: (1) Politik sebagai Relasi Kebebasan: Menilik Teori Tindakan dan Konsep Kebebasan Politik Hannah Arendt; (2) Yang-Politik dan Demokrasi sebagai Ruang Kosong: Filsafat Politik Claude Lefort; (3) Metapolitik Alain Badiou: Keadilan, Kebenaran, dan Perlawanan terhadap Ketidakmungkinan; (4) Subyek Sebagai Syarat Kembalinya Politik: Proyek Emansipasi Slavoj Žižek; (5) Yang Etis dan Politis: Antara Sukasman dan Zupančič; dan (6) Retorika, Psikoanalisa, dan Hegemoni: Pemikiran Politik Ernesto Laclau.
Kelima penulis buku ini secara sistematis mencoba memaparkan pemikiran politik kontemporer dari beberapa pemikir politik yang telah disebutkan di atas. Eddie Sius Riyadi mengawali buku ini dengan membahas pemikiran politik Arendt dan relasinya dengan kebebasan politik. Penulis ingin mengajak kita untuk menyadari bahwa selama berabad-abad kita dijajah dengan filsafat dan praktik politik yang “lupa akan kebebasan.” Di sinilah pentingnya pemikiran Arendt, tulisan ini bermaksud menelaah salah satu tesis sentral dalam filsafat politik Arendt yaitu bahwa raison d’être dari politik adalah kebebasan, dan bidang pengalamannya (terutama) adalah tindakan (action). Bagi Arendt, yang-politik pada praktiknya tidak bisa dipisahkan dari kebebasan karena di dalam kebebasan itulah yang-politik itu bisa dialami dan diaktualisasikan.
Pada sub tema yang kedua, Robertus Robet memperlihatkan dalam tulisannya bahwa bagi Lefort, politik dilihat sebagai ruang kosong. Konsep politik sebagai ruang kosong yaitu bahwa demi pengalaman kebebasan dan keadilan, politik tidak boleh dihuni oleh jawaban final. Melainkan oleh rentetan pertanyaan yang terus-menerus diajukan. Inilah inti demokrasi yang harus terus diselamatkan dari incaran totalitarianisme. Artinya, isi dasar demokrasi (polis) yang nyata adalah kedaulatan rakyat. Rakyat yang berdaulat namun kursi atau posisi kedaulatan itu tidak pernah secara fisik diisi oleh si rakyat sendiri. Kekosongan posisi kedaulatan inilah karakter pokok demokrasi. Bidang kosong demokrasi itu menegaskan adanya distansi antara kedaulatan dan rejim: antara yang sosial dan kekuasaan (inilah yang disebut “imajinasi”). Yang-Politik hanya mungkin apabila yang imajinatif mungkin. Dengan demikian bagi Lefort, ruang kosong (demokrasi) itu merupakan indikasi dari kehadiran Yang-Politik.
Dalam sub tema yang ketiga, Bagus Takwin memperlihatkan bahwa mengembalikan politik bagi Badiou, berarti mentransformasikan struktur dominan dari kepentingan-kepentingan status quo. Politik dalam pandangan Badiou, bukanlah everything is possible tapi something else is possible. Yang penting di sini adalah bahwa Badiou tidak sedang bekerja dalam politik “peluang” melainkan dalam politik “total,” yaitu perubahan keseluruhan tatanan. Melanjutkan pemikiran Badiou, pada sub tema yang keempat, Robertus Robet kembali memperlihatkan bahwa dalam hal menemukan kembali yang politik, filsafat Žižek mengambil jalan dalam arah yang ditempuh Badiou, yaitu gempuran total terhadap tatanan dominan, melalui suatu tindakan yang disebut the act. Act pada Žižek berarti suatu tindakan historis yang mengubah suatu paradigma, dan menuai segala sesuatu dari baru.
Di sub tema yang kelima tentang yang etis dan politis, Tony Doludea memperlihatkan bahwa Lewat gambaran togog (dalam pewayangan, togog dipandang sebagai penasehat para Kurawa, atau tokoh-tokoh wayang lainnya yang identik dengan kelicikan dan kejahatan) dan Semar (dipandang sebagai penasehat untuk para Pandhawa, maupun ksatria-ksatria lain yang identik dengan dharma dan kebaikan) oleh Sukasman (seorang seniman wayang), kita dapat merefleksikan kehidupan politik kita. Sukasman mencoba menyadarkan kita, bahwa alih-ahli menantikan datangnya Semar, malah sebenarnya yang dibutuhkan negeri ini adalah Togog, Togog yang betah tinggal dalam kejahatan. Selain pemikiran Sukasman, Tony juga membahas konsep etika The Real dari Zupančič. Yang dimaksud Zupančič dengan etika The Real adalah etika yang impossible, artinya bahwa etika adalah bukan sesuatu yang tidak dapat terjadi secara empiris, bukan sesuatu yang terjadi ketika kita menginginkannya. Etika The Real selalu terjadi pada waktu dan tempat yang tidak tepat. Baginya etika bukanlah sesuatu yang tidak mungkin terwujud, melainkan the impossible itu yang dapat terjadi pada waktu dan tempat yang tidak tepat. Inilah inti ruang etika.
Pada sub tema yang terakhir, giliran pemikiran Ernesto Laclau yang dibahas oleh Daniel Hutagalung. Dalam tulisanya ini, Daniel mencoba menelusuri triad (retorika, psikoanalisa, dan politik-hegemoni-) yang dijadikan sandaran Laclau bagi masa depan pemikiran sosial dan politik. Teori retorika yang dirujuk Laclau adalah pembacaan Paul de Man atas Pascal. Retorika, logika, dan dekonstruksi memberikan dasar untuk menganalisa bagaimana keputusan dan politik dilihat dalam undecidability, serta memberikan sumbangan besar bagi teori hegemoni, penciptaan ikatan persamaan, logika perbedaan, dan penanda kosong.
Akhirnya lepas dari berbagai kekurangan yang mungkin dapat ditemukan pembaca, hadirnya buku ini dimaksudkan agar mampu memberi pencerahan bagi kita dalam menghadapi kondisi politik kontemporer kita yang tidak lagi membutuhkan teori dan tetek-bengek filosofis. Kedangkalan yang terjadi belakangan ini dalam dunia politik Indonesia disebabkan oleh minimnya perangkat teoritis yang kita miliki pasca jatuhnya rejim otoriter. Dari sekian tema yang dibahas dalam buku “Kembalinya Politik” ini, para penulis di buku ini dalam cara, arah, dan metode yang berbeda-beda tiba pada satu kesimpulan bahwa filsafat selalu adalah filsafat yang mencari politik (hal. xxxix).
0 komentar:
Posting Komentar