Oleh: Raimondus Arwalembun
Pengantar
Kematian Johannes Marliem (JM)
yang disebut sebagai “Saksi Kunci” kasus e-KTP memunculkan berbagai polemik. Apa
yang menyebabkan saksi ini meninggal? Apa ini terkait dengan pengungkapan
identitas beliau ke publik atau karena hasil wawancara dengan salah satu media
terkait kasus e-KTP?
Tentu banyak pertanyaan dan banyak jawaban yang muncul
atas kejadian ini. Namun satu hal yang menjadi catatan penting untuk dikritisi:
Kalau benar JM adalah “Saksi Kunci,” kenapa ia tidak dilindungi? Atau kalau
dilindungi siapa yang melindungi dan kenapa ia ditemukan meninggal?
Tulisan ini tidak berpretensi
untuk mencari tahu penyebab kematian JM, namun lebih dari itu kematian JM
memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang rendahnya pemahaman terkait
Perlindungan Saksi di Indonesia. Bukan hanya itu, pertanyaan selanjutnya kalau
KPK memberikan perlindungan kepada JM lalu kenapa JM bisa ditemukan meninggal?
Perlindungan seperti apakah yang diberikan KPK? Apakah KPK memiliki kewenangan
dalam memberikan perlindungan terhadap saksi? Kenapa bukan LPSK yang memberikan
perlindungan kepada JM kalau memang dia adalah “Saksi Kunci?” Atau kah benar
LPSK yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban takut
terhadap KPK seperti ciutan Wakil Ketua DPR RI yang terhormat Bapak Fahri
Hamzah di twitternya?[1]
Itulah isu sentral yang akan
dibahas dalam tulisan ini, pentingnya perlindungan saksi dan siapa sebenarnya
yang memiliki kewenangan dalam memberikan perlindungan saksi, apakah LPSK atau
KPK?
JM dan Perlindungan KPK
Tidak bisa dipungkiri bahwa
proses persidangan kasus korupsi mega proyek e-KTP menyeret sejumlah nama besar
pejabat dan saksi di dalamnya. Salah satu nama yang sering disebut dan diklaim
sebagai “Saksi Kunci” adalah Johannes Marliem (JM). Peran JM dalam pengungkapan
kasus korupsi e-KTP makin kuat ketika ada dugaan kalau pihak KPK dua kali
bertemu JM di luar negeri (Singapura dan Amerika) untuk mencari informasi
terkait keterlibatan beliau dan bukti-bukti yang yang dimilikinya untuk
menjerat beberapa pelaku yang diduga terlibat dalam kasus korupsi tersebut. Dugaan itu makin kuat ketika
dalam wawancara dengan salah satu media di Indonesia, JM mengakui memiliki rekaman pertemuan dengan
para perancang proyek e-KTP yang turut dihadiri oleh Ketua DPR RI Setya
Novanto, diperkirakan ada 500 gigabyte rekaman percakapan.
Yang menarik adalah kematian JM mulai dikaitkan dengan
pemberitaan dirinya sebagai “Saksi Kunci.” Pertanyaannya siapa yang menyatakan
kalau JM adalah Saksi Kunci? Dalam penyampaian KPK kepada wartawan (lewat Juru
Bicara KPK Febri Diansyah) 14 Agustus 2017, KPK menegaskan belum pernah memeriksa JM sebagai
saksi perkara korupsi e-KTP. Nama JM juga tidak masuk daftar saksi dalam sidang
e-KTP dengan terdakwa Irman, Sugiharto, danA ndi Narogong.[2]
Kalau penjelasan KPK di atas benar maka bisa
dipastikan bahwa JM tidak mendapat perlindungan dari KPK karena JM tidak masuk
dalam daftar saksi e-KTP yang diajukan KPK. Tentu ini fatal, karena media sudah
terlanjur memberitakan dan mengekspos bahwa JM adalah Saksi Kunci e-KTP. Kalau
terbukti JM meninggal karena beliau disebut-sebut sebagai saksi kunci, maka
media adalah salah satu faktor fatal yang ikut mendukung dan menyebabkan
kematiannya. Dalam program perlindungan saksi ada prosedur dan tahapan
perlindungan yang harus dipatuhi. Mengekspos keberadaan saksi dan bukti yang
dimiliki oleh saksi baik oleh pihak-pihak yang berwenang ataupun oleh media
bisa berakibat fatal seperti yang menimpa JM.
Urgensi
Perlindungan Saksi:
KPK Harus
Belajar dari Kematian JM dan Berkoordinasi dengan LPSK
Kematian JM belum tentu dikarenakan
publikasi media yang mengatakan bahwa dia adalah “Saksi Kunci” dan memiliki
bukti rekaman korupsi mega proyek e-KTP, namun hal itu bisa juga terjadi.
Artinya, kematian JM sebenarnya merupakan warming
bagi KPK bahwa pemberian perlindungan bagi saksi dalam kasus-kasus besar
seperti e-KTP sangat penting. KPK juga harus menyadari bahwa mereka bukanlah
lembaga yang dapat bekerja sendiri dalam proses pemberantasan korupsi di
Indonesia. KPK butuh dukungan rakyat, butuh dukungan aparat penegak hukum
lainnya, dan dalam konteks perlindungan saksi, mau tidak mau, suka tidak suka
KPK harus berkoordinasi dengan LPSK. Mengapa demikian?
Alasannya jelas, dalam Undang-Undang
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 15 ayat (2) menyatakan bahwa
“Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban memberikan perlindungan
terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan
keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi,[3] namun
KPK harus mengakui bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang
secara khusus dimandatkan oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban adalah lembaga yang memiliki kewenangan khusus dalam memberikan perlindungan
bagi saksi (dan korban).
Pasal 12, Undang-Undang No. 31
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa LPSK bertanggung jawab untuk
menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan
tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 12A,
ayat (1) mengatur terkait kewenangan LPSK, sedangkan ayat (2) mengatur tentang
sanksi bagi pejabat dari instansi atau pihak lain jika kewenangan LPSK dalam
ayat (1) tidak dipenuhi. Semua proses, syarat, tahapan, prosedur, dan program
perlindungan saksi sudah diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban,
Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Ketua LPSK.
Dengan kata lain, dalam urusan
perlindungan saksi, khususnya mereka yang disebut sebagai Saksi Kunci, Whistleblower, Saksi Pelapor, Saksi
Pelaku (Justice Collaborator), atau
apapun sebutannya yang karena kesaksiannya mengenai dugaan suatu tindak pidana
dapat membantu untuk membongkar kasus tersebut wajib dilindungi dan masuk dalam
program perlindungan LPSK.
Pertanyaannya apakah KPK tidak
boleh memberikan Perlindungan pada saksi? Jawaban boleh namun sekali lagi KPK
tetap harus berkoordinasi dengan LPSK sebagai Lembaga yang memiliki kewenangan
khusus untuk memberikan perlindungan bagi saksi. Ini penting untuk menghindari
serangan terhadap KPK seperti yang dilakukan DPR lewat Pansus Angket KPK terkait kewenangan dalam
menempatkan saksi di safe house.
Semoga demikian….
Catatan:
[1]
@Fahrihamzah: Lembaga perlindungan Saksi dan korban (LPSK) yang justru kita
bentuk untuk itu malah takut sekali pada KPK. (13 Agustus 2017, 11:51 AM)
[3] Dalam
penjelasannya dikatakan bahwa: Yang dimaksud dengan “memberikan perlindungan”,
dalam ketentuan ini melingkupi juga pemberian jaminan keamanan dengan meminta
bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi
termasuk perlindungan hukum.
1 komentar:
bolavita Agen Judi Bola Casino Baccarat Poker Togel QiuQiu online terpercaya dan terbesar di Indonesia, untuk pembukaan account semua jenis judi online
Boss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )
Posting Komentar