Agustus 16, 2017

Urgensi Perlindungan Saksi di Indonesia: Kewenangan LPSK atau KPK?

Oleh: Raimondus Arwalembun

Pengantar

Kematian Johannes Marliem (JM) yang disebut sebagai “Saksi Kunci” kasus e-KTP memunculkan berbagai polemik. Apa yang menyebabkan saksi ini meninggal? Apa ini terkait dengan pengungkapan identitas beliau ke publik atau karena hasil wawancara dengan salah satu media terkait kasus e-KTP?
Tentu banyak pertanyaan dan banyak jawaban yang muncul atas kejadian ini. Namun satu hal yang menjadi catatan penting untuk dikritisi: Kalau benar JM adalah “Saksi Kunci,” kenapa ia tidak dilindungi? Atau kalau dilindungi siapa yang melindungi dan kenapa ia ditemukan meninggal?

Tulisan ini tidak berpretensi untuk mencari tahu penyebab kematian JM, namun lebih dari itu kematian JM memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang rendahnya pemahaman terkait Perlindungan Saksi di Indonesia. Bukan hanya itu, pertanyaan selanjutnya kalau KPK memberikan perlindungan kepada JM lalu kenapa JM bisa ditemukan meninggal? Perlindungan seperti apakah yang diberikan KPK? Apakah KPK memiliki kewenangan dalam memberikan perlindungan terhadap saksi? Kenapa bukan LPSK yang memberikan perlindungan kepada JM kalau memang dia adalah “Saksi Kunci?” Atau kah benar LPSK yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban takut terhadap KPK seperti ciutan Wakil Ketua DPR RI yang terhormat Bapak Fahri Hamzah di twitternya?[1]

Itulah isu sentral yang akan dibahas dalam tulisan ini, pentingnya perlindungan saksi dan siapa sebenarnya yang memiliki kewenangan dalam memberikan perlindungan saksi, apakah LPSK atau KPK?


JM dan Perlindungan KPK

Tidak bisa dipungkiri bahwa proses persidangan kasus korupsi mega proyek e-KTP menyeret sejumlah nama besar pejabat dan saksi di dalamnya. Salah satu nama yang sering disebut dan diklaim sebagai “Saksi Kunci” adalah Johannes Marliem (JM). Peran JM dalam pengungkapan kasus korupsi e-KTP makin kuat ketika ada dugaan kalau pihak KPK dua kali bertemu JM di luar negeri (Singapura dan Amerika) untuk mencari informasi terkait keterlibatan beliau dan bukti-bukti yang yang dimilikinya untuk menjerat beberapa pelaku yang diduga terlibat dalam kasus korupsi tersebut. Dugaan itu makin kuat ketika dalam wawancara dengan salah satu media di Indonesia, JM mengakui memiliki rekaman pertemuan dengan para perancang proyek e-KTP yang turut dihadiri oleh Ketua DPR RI Setya Novanto, diperkirakan ada 500 gigabyte rekaman percakapan.

Yang menarik adalah kematian JM mulai dikaitkan dengan pemberitaan dirinya sebagai “Saksi Kunci.” Pertanyaannya siapa yang menyatakan kalau JM adalah Saksi Kunci? Dalam penyampaian KPK kepada wartawan (lewat Juru Bicara KPK Febri Diansyah) 14 Agustus 2017, KPK menegaskan belum pernah memeriksa JM sebagai saksi perkara korupsi e-KTP. Nama JM juga tidak masuk daftar saksi dalam sidang e-KTP dengan terdakwa Irman, Sugiharto, danA ndi Narogong.[2]

Kalau penjelasan KPK di atas benar maka bisa dipastikan bahwa JM tidak mendapat perlindungan dari KPK karena JM tidak masuk dalam daftar saksi e-KTP yang diajukan KPK. Tentu ini fatal, karena media sudah terlanjur memberitakan dan mengekspos bahwa JM adalah Saksi Kunci e-KTP. Kalau terbukti JM meninggal karena beliau disebut-sebut sebagai saksi kunci, maka media adalah salah satu faktor fatal yang ikut mendukung dan menyebabkan kematiannya. Dalam program perlindungan saksi ada prosedur dan tahapan perlindungan yang harus dipatuhi. Mengekspos keberadaan saksi dan bukti yang dimiliki oleh saksi baik oleh pihak-pihak yang berwenang ataupun oleh media bisa berakibat fatal seperti yang menimpa JM.


Urgensi Perlindungan Saksi:
KPK Harus Belajar dari Kematian JM dan Berkoordinasi dengan LPSK

Kematian JM belum tentu dikarenakan publikasi media yang mengatakan bahwa dia adalah “Saksi Kunci” dan memiliki bukti rekaman korupsi mega proyek e-KTP, namun hal itu bisa juga terjadi. Artinya, kematian JM sebenarnya merupakan warming bagi KPK bahwa pemberian perlindungan bagi saksi dalam kasus-kasus besar seperti e-KTP sangat penting. KPK juga harus menyadari bahwa mereka bukanlah lembaga yang dapat bekerja sendiri dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK butuh dukungan rakyat, butuh dukungan aparat penegak hukum lainnya, dan dalam konteks perlindungan saksi, mau tidak mau, suka tidak suka KPK harus berkoordinasi dengan LPSK. Mengapa demikian?

Alasannya jelas, dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana  Korupsi, Pasal 15 ayat (2) menyatakan bahwa “Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi,[3] namun KPK harus mengakui bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang secara khusus dimandatkan oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang memiliki kewenangan khusus dalam memberikan perlindungan bagi saksi (dan korban).

Pasal 12, Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 12A, ayat (1) mengatur terkait kewenangan LPSK, sedangkan ayat (2) mengatur tentang sanksi bagi pejabat dari instansi atau pihak lain jika kewenangan LPSK dalam ayat (1) tidak dipenuhi. Semua proses, syarat, tahapan, prosedur, dan program perlindungan saksi sudah diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Ketua LPSK.

Dengan kata lain, dalam urusan perlindungan saksi, khususnya mereka yang disebut sebagai Saksi Kunci, Whistleblower, Saksi Pelapor, Saksi Pelaku (Justice Collaborator), atau apapun sebutannya yang karena kesaksiannya mengenai dugaan suatu tindak pidana dapat membantu untuk membongkar kasus tersebut wajib dilindungi dan masuk dalam program perlindungan LPSK.

Pertanyaannya apakah KPK tidak boleh memberikan Perlindungan pada saksi? Jawaban boleh namun sekali lagi KPK tetap harus berkoordinasi dengan LPSK sebagai Lembaga yang memiliki kewenangan khusus untuk memberikan perlindungan bagi saksi. Ini penting untuk menghindari serangan terhadap KPK seperti yang dilakukan DPR lewat  Pansus Angket KPK terkait kewenangan dalam menempatkan saksi di safe house. Semoga demikian….

Catatan:


[1] @Fahrihamzah: Lembaga perlindungan Saksi dan korban (LPSK) yang justru kita bentuk untuk itu malah takut sekali pada KPK. (13 Agustus 2017, 11:51 AM)
[3] Dalam penjelasannya dikatakan bahwa: Yang dimaksud dengan “memberikan perlindungan”, dalam ketentuan ini melingkupi juga pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

bolavita Agen Judi Bola Casino Baccarat Poker Togel QiuQiu online terpercaya dan terbesar di Indonesia, untuk pembukaan account semua jenis judi online

Boss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )

Posting Komentar