“Mencari Keadilan” di Helsinki dan Mengimplementasikannya di Aceh
Oleh Raimondus Arwalembun
Perdamaian di Aceh memang dimulai sejak ditandatanganinya MoU Helsinki,
tetapi apakah ini merupakan perdamaian yang permanen? Tentu tidak,
sebagai langkah awal menuju perdamaian, iya. Namun menuju perdamaian yang permanen di Aceh, masih dalam proses. Perdamaian permanen di Aceh akan
terwujud kalau, pertama, ada klasifikasi pelanggaran HAM dan
diselesaikan secara hukum; kedua, semua yang menjadi objek konflik harus dipertimbangkan. Artinya, perdamaian permanen di Aceh sangat tergantung pada “bagaimana memberikan keadilan (justice) bagi korban.”
Inilah hal yang paling penting yang harus dipikirkan dan diberikan oleh
Pemerintah RI. Dengan demikian perdamaian di Aceh benar-benar akan terwujud kalau korban ikut mendapat keadilan
I. PENGANTAR
Tiga (3) tahun sudah perdamaian di Aceh berjalan, tiga tahun sudah hasil kesepakatan damai (MoU Helsinki yang dituangkan dalam UUPA) antara Pemerintah RI dan GAM diimplementasikan. Ini tentu sebuah prestasi yang membanggakan karena semua pihak dapat menahan diri dan bersama-sama berkomitmen untuk menjaga perdamaian di Aceh. Di satu sisi, perdamian di Aceh memang berjalan dengan baik, walaupun selama tiga tahun ini di beberapa tempat seringkali terjadi berbagai keributan yang dapat digolongkan sebagai tindakan kriminal. Di sisi lain, perdamaian di Aceh saat ini dianggap belum maksimal. Kutipan di atas sesungguhnya menunjukkan kepada kita bahwa ada beberapa pihak (khususnya korban) yang sampai saat ini merasa belum mendapatkan keadilan dari proses perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh. Pertanyaannya adalah, dimanakah kedudukan keadilan dalam keseluruhan proses perdamaian di Aceh?