Agustus 16, 2017

Urgensi Perlindungan Saksi di Indonesia: Kewenangan LPSK atau KPK?

Oleh: Raimondus Arwalembun

Pengantar

Kematian Johannes Marliem (JM) yang disebut sebagai “Saksi Kunci” kasus e-KTP memunculkan berbagai polemik. Apa yang menyebabkan saksi ini meninggal? Apa ini terkait dengan pengungkapan identitas beliau ke publik atau karena hasil wawancara dengan salah satu media terkait kasus e-KTP?

Desember 20, 2012

PEPERA 1969 (ACT OF FREE CHOICE) DAN KONSEKUENSI POLITIK BAGI NKRI SAAT INI

PENGANTAR
Sejarah integrasi Irian Jaya (selanjutnya ditulis Papua) ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga saat ini meninggalkan persoalan yang menyebabkan pincangnya hubungan antara pemerintah pusat dan Papua.

April 08, 2012

Hak untuk Tidak Beragama sebagai Hak Asasi Manusia: Mungkinkah di Indonesia?

Oleh Raimondus Arwalembun

(Dimuat di Buletin ASASI Elsam, Edisi Januari-Februari 2009)

Agama dan Indonesia adalah dua entitas yang sama-sama “kabur.” Kabur karena dua entitas tersebut memiliki arti yang masih terbuka untuk terus diperdebatkan. Bagaimana dengan mereka yang memilih untuk tidak beragama?

Maret 06, 2012

AS Siap Kirim Pasukan untuk Memerdekakan Papua

“Jika asing melihat masalah Papua sebagai sebuah isu internasional yang hangat, dan menganggap Indonesia tidak peduli. Maka kesempatan Papua untuk merdeka akan semakin besar,”

Informasi selengkapnya dapat dibaca pada link di bawah ini:
AS Siap Kirim Pasukan untuk Memerdekakan Papua


Maret 30, 2011

PROSES NEGOSIASI PERDAMAIAN ACEH:

Mencari Keadilan di Helsinki dan Mengimplementasikannya di Aceh[1]

Oleh Raimondus Arwalembun

Perdamaian di Aceh memang dimulai sejak ditandatanganinya MoU Helsinki,
tetapi apakah ini merupakan perdamaian yang permanen? Tentu tidak,
sebagai langkah awal menuju perdamaian, iya. Namun menuju perdamaian yang permanen di Aceh, masih dalam proses. Perdamaian permanen di Aceh akan
terwujud kalau, pertama, ada klasifikasi pelanggaran HAM dan
diselesaikan secara hukum; kedua, semua yang menjadi objek konflik harus dipertimbangkan. Artinya, perdamaian permanen di Aceh sangat tergantung pada “bagaimana memberikan keadilan (justice) bagi korban.”
Inilah hal yang paling penting yang harus dipikirkan dan diberikan oleh
Pemerintah RI. Dengan demikian perdamaian di Aceh benar-benar akan terwujud kalau korban ikut mendapat keadilan[2]


I.       PENGANTAR

Tiga (3) tahun sudah perdamaian di Aceh berjalan, tiga tahun sudah hasil kesepakatan damai (MoU Helsinki yang dituangkan dalam UUPA) antara Pemerintah RI dan GAM diimplementasikan. Ini tentu sebuah prestasi yang membanggakan karena semua pihak dapat menahan diri dan bersama-sama berkomitmen untuk menjaga perdamaian di Aceh. Di satu sisi, perdamian di Aceh memang berjalan dengan baik, walaupun selama tiga tahun ini di beberapa tempat seringkali terjadi berbagai keributan yang dapat digolongkan sebagai tindakan kriminal. Di sisi lain, perdamaian di Aceh saat ini dianggap belum maksimal. Kutipan di atas sesungguhnya menunjukkan kepada kita bahwa ada beberapa pihak (khususnya korban) yang sampai saat ini merasa belum mendapatkan keadilan dari proses perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh. Pertanyaannya adalah, dimanakah kedudukan keadilan dalam keseluruhan proses perdamaian di Aceh?